Selasa, 10 Mei 2011

AL QUR'AN DAN KEBENARAN ILMIAH




(Sumber Epistemologi & Hubungan al-Qur’an dengan Kebenaran)
 oleh : abdul gaffar. S. Th. I


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu dibangun di atas tiga landasan; ontologis,  epistemologis dan aksiologis. Secara ontologis ilmu dibangun berdasarkan konstruksi ilmu pengetahuan keyakinan filosofis tentang (hakikat ) realitas. Secara epistemologis ilmu dibangun atas dasar metodologi yang diturunkan dari hakikat realitas yang diyakini kebenarannya, sedangkan secara aksiologis ilmu dikembangkan untuk memenuhi tujuan etis sesuai dengan hakikat kebenarannya yang diyakininya.[1]
Konsep realitas sangat mempengaruhi epistemologi. Bagi Mayoritas ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai realitas adalah terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh panca indera atau yang dapat disahkan oleh metode empiris sehingga terjadi terjadi penyempitan realitas objek yang dapat diketahui oleh manusia dan wilayah realitas subyek yang mengetahui.[2]
Keraguan menyangkut panca indra memang wajar tetapi ia tidak harus selalu diragukan. Dia memang tidak jarang keliru apalagi tidak semua objek dapat menjadi sasarannya. Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah terhadap realitas objek dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren dan wahyu.
Sementara untuk membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar, ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?.[3]
Di sisi lain, dalam al-Qur’an tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.[4] Demikianlah al-Qur’an telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.[5]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian epistemologi dan kebenaran ilmiah?
2.      Bagaimana epistemologi kebenaran pengetahuan dalam al-Qur’an?
3.      Bagaimana hubungan antara al-Qur’an dan kebenaran ilmiah? 



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Epistemologi dan Kebenaran Ilmiah
1.      Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori/pembicaraan/ilmu. Epistemology merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila kumpulan pengetahuan yang benar diklasifikasi, atau disusun secara sitematis dengan metode yang benar, maka ia dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta/kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Meskipun demikian, perbedaan suatu epistemologi dengan epistemologi yang lain adalah tanggapan terhadap ruang lingkup realitas objek dan ruang lingkup realitas subjek yang dapat diterima sebagai sebuah keyakinan. Aliran utama epistemologi modern -ciptaan pemikiran Barat- berbeda dengan epistemologi Islam pada umumnya dari segi tanggapan terhadap kedua dua ruang lingkup tersebut.
Mayoritas ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai realitas adalah terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh panca indera atau yang dapat disahkan oleh metode empiris, sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode ini disangsikan eksistensinya atau pun ditolak sarna sekali. Metode ilmiah dijadikan penentu tunggal eksistensi sesuatu. Tegasnya, ruang lingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini adalah terbatas kepada alam fisik.
Konsep realitas dalam pemikiran Islam berdasarkan al-Qur'an adalah realitas objek yang dapat diketahui mencakup seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah swt.. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat hirarkis yakni memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Alam semesta atau kosmos yang diperlihatkan oleh al-Qur'an terbahagi secara umum kepada tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat yang menurut hadis adalah diciptakan dari cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam al-Qur'an realitas ini merujuk kepada dunia jin yang diciptakan dari api yang bukan fisik.
Menurut al-Qur'an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakup seluruh apa yang disebut sebagai miniatur alam (al- 'alam al-saghir). Di Barat ia dikenal dengan istilah microcosm. Alam ini merujuk kepada alam diri manusia yang juga terbagi kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. al-Qur'an menegaskan:
الذي أحسن كل شيء خلقه وبدأ خلق الإنسان من طين. ثم جعل نسله من سلالة من ماء مهين. ثم سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة قليلا ما تشكرون.

“Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”.

Dengan demikian, Fasilitas pengetahuan manusia meliputi panca indera yang dapat mengamati objek-objek fisik, akal/rasionalitas yang mampu mengenal objek fisik dan nonfisik dengan menyimpulkan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui dan hati (qalb) yang menangkap nonfisik atau metafisika melalui kontak langsung dengan objek yang hadir dalam jiwa. Fasilitas-fasilitas tersebut yang yang memungkinkan manusia mengetahui realitas alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu hirarkis. Oleh karena itu, dalam epistemologi Islam, dikenal realitas fisik dan non-fisik, baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika. 
Epistemologi Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau sains dicirikan oleh empat perkara sebagai berikut: 1) maudu’ (subject matter), 2) ada premis-premis (muqaddamat) yang perlu dibuktikan dalam displin ilmu yang lebih tinggi, 3) ada metode (tariqah) dan 4) ada tujuan/objektif (ahdaf).
2.      Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu.\
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal, idea, category, form, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan peran indera. Kedua, adalah realism atau empiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran indera sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.  Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain diantaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain sebagainya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissans di Barat.
Sedangkan menurut Prof. Syed Naquib Al-Atas, mengatakan sumber dan kriteria kebenaran dalam pandangan Islam terbagi atas dua bagian besar, yakni yang bersifat relative dan yang bersifat absolut. Yang termasuk sumber pengetahuan relatif adalah indra dan persepsi. Sumber yang absolut, tiada lain al-Quran dan Sunnah.
Sebagaimana telah dipaparkan pada makalah-makalah sebelumnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik. Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. Namun dalam Islam ada kebenaran yang disebut kebenaran agama (ilahiyah). Meskipun demikian, penulis menjelaskan empat teori kebenaran sebagai berikut:
a.       Kebenaran Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa contoh, antara lain: Khamar itu ada manfaatnya meskipun lebih banyak mudarratnya sebagaimana firman Allah:  
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

b.      Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran korespondensi adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan.
Salah satu contoh kebenaran korespondensi dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang pertemuan antara air asin dan air tawar tanpa bercampur baur.
وهو الذي مرج البحرين هذا عذب فرات وهذا ملح أجاج وجعل بينهما برزخا وحجرا محجورا
Artinya: “Dan dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang Ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi”.


c.       Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar tanpa melihat kepada fakta atau realita. Teori koheren menggunakan logika deduktif.
Salah satu contoh dalam al-Qur’an adalah pernyataan tentang zina:
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا...
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.


Pernyataan al-Qur’an tersebut ternyata telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah yang terdapat di wilayah perairan Inggris.  
Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang lain seperti:
والذين لا يدعون مع الله إلهاً آخر، ولا يقتلون النفس التي حرم الله إلا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذلك يلق أثاما. 
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”.

Dan pernyataan yang melarang kepada fawahisy (perbuatan buruk):
ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن
Artinya: “….Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi….


Ketiga teori ini mempunyai perbedaan paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi pada kebenaran factual dan teori fragmatis mefungsional pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. Tetapi ketiganya memiliki persamaan, yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji kebenaran itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran itu.
d.      Kebenaran wahyu adalah pengetahuan yang  bersumber dari Tuhan melalui hambanya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul). Melalui wahyu atau agama, manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.
Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
Salah satu contoh kebenaran wahyu adalah tentang berlipat ganda balasan bagi orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah swt.
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

B.     Al-Qur’an Sebagai Sumber Epistemologi
Filsafat adalah dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan cara-cara meraih pengetahuan, pengembangan pemikiran, batas pengetahuan dan bagaimana memanfaatkan pengetahuan, ternyata sebagian dari persoalan diatas dapat ditemukan jawabannya pada wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad saw yang terdapat dalam surah al-Alaq: 1-5 di antaranya pengetahuan dengan pena dan pengetahuan ilahiyah.
Beragam uraian para pakar tentang persoalan yang dibahas oleh epistemologi namun agaknya dapat disebutkan beberapa hal yang menjadi pembahasannya, antara lain: apakah sumber pengetahuan?, bagaimana manusia mengetahui?, apa watak pengetahuan?, apakah yang diketahui itu ada wujudnya diluar benak siapa yang mengetahuinya. Kalau ada, apakah manusia dapat menjangkaunya?, apakah pengetahuan -yang ada dalam benak itu- benar adanya? Dan bagaimana membedakan antara yang benar dan yang salah?. Untuk mengetahui al-Qur’an menjadi sumber epistemologi atau tidak, pertanyaan-pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban dari al-Qur’an. 
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
1.      Emperisme yang beranggapan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (empereikos/pengalaman). Dalam hal ini harus ada tiga hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman). Tokoh yang terkenal: John Locke (1632 –1704), George Barkeley(1685 -1753) dan David Hume.
Dalam Al-Qur'an, banyak ayat yang menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam pandangan al-Qur'an, wujud yang yang diinformasikan oleh panca indra -selama dalam wilayah kerjanya- dapat diandalkan dan bahwa apa yang dijangkaunya adalah satu kenyataan dan pengetahuan.
Bahkan al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
2.      Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716).
Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hat ini dan dengan berbagai redaksi seperti ta'qilu>n, tatafakkaru>n, tadabbaru>n.  dan lain-lain.  lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.
3.      Intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; z|auqi> (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu hud}u>ri> yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.

Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.
4.      Wahyu adalah pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikannya (Nabi dan Rasul). Melalui wahyu atau agama. Manusia diajarkan tentang sejumlah pengetahuan baik yang terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia.
Disamping itu, masih ada sumber pengetahuan seperti kritisisme atau rasionalisme kritis adalah pandangan yang mendasari kebenaran pada dua aspek yaitu rasio dan pengalaman. Sedangkan positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
C.    Hubungan al-Qur’an dan Kebenaran Ilmiah
Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan, al-Qur’an memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: “Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui?”. Pada ayat yang lain, Allah menjelaskan: “Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui?”.
Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Namun pada sisi lain, al-Qur’an sudah menyampaikan bahwa manusia hanya diberikan sedikit saja tentang ilmu pengetahuan.
Untuk menguji suatu kebenaran, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengikuti aliran rasionalisme, empirisme dan positivisme.    
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan pedoman hidup manusia, tentu mencakup berbagai informasi yang bersifat keilmuan. Oleh karena itu, al-Qur’an memiliki hubungan yang erat dengan ilmu pengetahuan.
Imam Gazali dalam kitabnya jawahir al-Qur’an berpendapat bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang akan datang bersumber dari al-Qur’an. berbeda dengan al-Gazali, Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat sebagaimana dikutip Quraish Shihab berpendapat bahwa sahabat tentu lebih mengetahui al-Qur’an dan apa yang tercantum di dalamnya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan.
Dari dua pendapat di atas, penulis tidak bisa mengatakan bahwa salah satu atau keduanya salah atau benar. Namun penulis berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan dasar-dasar tentang ilmu pengetahuan atau al-Qur’an meletakkan keuniversalan ilmu pengetahuan, sedangkan pengembangan dan pendalaman ilmu pengatahuan dilakukan oleh manusia.
Oleh karena itu, pembicaraan tentang hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar dilihat dari banyak tidaknya cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam al-Qur’an dan tidak sekedar menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah, akan tetapi pembicaraan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat, yaitu lebih diarahkan kepada jiwa-jiwa ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong dan memotivasi manusia menggunakan akal untuk berfikir, melakukan observasi dan penelitian demi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat menambah keimanan.
Namun untuk membuktikan hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan serta kebenaran-kebenarannya sebagai salah satu bukti kemukjizatan al-Qur’an, perlu didukung oleh beberapa fakta dan diuji oleh dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1.      Sperma
Al-Qur’an 15 abad yang lalu telah mengungkapkan tentang isyarat reproduksi manusia yang diungkapkan dalam surah al-Qiyamah: 36-39, al-Najm: 45-46 dan al-Waqi’ah: 58-59 bahwa manusia tercipta dari sperma yang dipancarkan secara berpasang-pasangan. Hal itu sejalan dengan penemuan ilmiah pada abad ke-20 bahwa sperma itu mengandung sekitar 200 juta benih jiwa manusia dan sperma tersebut mengandung dua kromosom yang dilambangkan dengan Y dan X.
2.      Geografi
Al-Qur’an dalam surah Yunus: 6, telah menginformasikan bahwa siang dan malam silih berganti dan berbeda panjang waktunya sebagai tanda dan bukti bagi kaum yang bertaqwa.
إن في اختلاف الليل والنهار وما خلق الله في السماوات والأرض لآيات لقوم يتقون
Artinya: “Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa”.

Keilmuan masa kini membuktikan bahwa lama waktu siang dan malam akan selalu berbeda sepanjang tahun disebabkan perputaran bumi terhadap matahari sekitar 23,5o sesuai dengan posisi matahari dari bumi.
3.      Numerik
 Al-Qur’an dalam surah al-Kahfi: 25 menyatakan bahwa as}ha>b al-kahfi menetap dalam goa selama 300 tahun ditambah 9 tahun.
ولبثوا في كهفهم ثلاث مئة سنين وازدادوا تسعا
Artinya: “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”.

Sekilas, ayat ini sangat boros menggunakan kosa kata, kenapa kemudian tidak menggunakan 309 tahun langsung. Akan tetapi al-Qur’an kemudian membuktikan bahwa 300 tahun awal adalah hitungan yang menggunakan kalender masehi, sedangkan 300+9 tahun adalah hitungan yang menggunakan kalender hijriyah. Dan hal itu baru dapat dibuktikan jauh setelah ayat tersebut turun.    
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Perbedaan epistemologi Islam dan Barat terletak pada tanggapan terhadap ruang lingkup realitas objek dan ruang lingkup realitas subjek yang dapat diterima sebagai sebuah keyakinan. Konsep realitas dalam pemikiran Islam berdasarkan al-Qur'an adalah realitas objek yang dapat diketahui mencakup seluruh alam semesta dan penciptanya yakni Allah swt.. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat hirarkis yakni memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Sedangkan Pemikir Barat modern, yang diakui sebagai realitas adalah terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh panca indera atau yang dapat disahkan oleh metode empiris.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu yang dapat diuji dengan empat teori kebenaran, yaitu korespondensi, koherensi, paragmatis dan wahyu.
2.      Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan membenarkan sumber pengetahuan yang telah dibahas oleh para filosof seperti emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu dengan catatan bahwa semua sumber pengetahuan tersebut bekerja pada wilayahnya masing-masing.
3.      Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan pedoman hidup manusia, tentu mencakup berbagai informasi yang bersifat keilmuan. Oleh karena itu, al-Qur’an memiliki hubungan yang erat dengan ilmu pengetahuan. Dimana al-Qur’an memberikan dasar-dasar tentang ilmu pengetahuan atau al-Qur’an meletakkan keuniversalan ilmu pengetahuan, sedangkan pengembangan dan pendalaman ilmu pengatahuan dilakukan oleh manusia. Dan kebenaran-kebenaran ilmiah al-Qur’an telah banyak disaksikan dan dibuktikan oleh para ilmuan.
B.     Implimentasi
Al-Qur’an dan kebenaran ilmiah memiliki hubungan yang erat, bahkan al-Qur’an terkadang memberikan informasi yang tidak dapat dibuktikan dengan teori kebenaran di luar Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa al-Qur’an lebih luas cakupannya dibandingkan dengan pengetahuan Barat yang telah diuji kebenarannya.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa manusia dan seluruh sarana yang diberikan kepadanya memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tidak dapat ditutupi dan hal itu menjadi bukti bahwa di atas manusia masih ada yang lebih kuasa dan maha tahu yaitu Tuhan yang berhak disembah dan diagungkan dengan al-Qur’an sebagai buktinya.
Akhirnya, manusia sudah pasti membutuhkan Tuhan sebagai sandaran dan pengaduan di saat akal dan panca indera tidak mampu lagi untuk berbuat.      



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Hakim
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Gazali, Jawahir al-Qur’an, Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ al-‘Ulum, 1985.
Ading Nasrullah, Epistemologi Islam, www.filsafatindonesia1001.wordpress.com, (05-12-2009). 
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1989.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
C.A. Van Puersen, Opbow Van De Wetenschap Eren Inleiding Inde Wetenschaper, terj. J. Drost, Susunan Ilmu Pengantar (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu) Jakarta: Gramedia, 1989.
Dani Permana, Kebenaran Ilmiah al-Qur’an. www.old.nabble.com, (Dikutip, 05-12-2009). 
Dewi Blog’s, Kebenaran Ilmiah, www.dewi.students-blog.undip.ac.id. (05-12-2009). 
H. G. Sarwar, Filsafat al-Qur’an, Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Ismaun, Filsafat Ilmu, Diklat Kuliah, Bandung: UPI Bandung, 2001.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
L.O \. Kattsoft, Unsur-unsur Filsafat, Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
__________, Element of Philosophy, terj. Sujono Sumarno, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
M. Quraish Shihab, Kebenaran Ilmiah al-Qur’an, Bukti Kebenaran Al-Quran, Pemahaman dan Tafsir Al-Quran, www.al-quran.bahagia.us.com, (Dikutip, 05-12-2009). 
____________, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
____________, Mukjizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.
____________, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net, (5-12-2009).  
Mahmud Kamil Abd Shamad, I’jaz al-Ilmi fi al-Qur’an.
Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, al-Qa>hirah: Da>r al-Hadi>s|, t.th.
Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Ilmi, t.tp. Dar al_Fikr al-Arabi, t.th.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Cet.II; Yogyakarta: Belikar, 2005.
Muhammad Sayyid T}ant{a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, www.altafsir.com.
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 2003.
_________, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
__________, Panorama Filsafat Islam, Cet: I; Bandung: Mizan, 2002.
Oesman Bakar, Epistemologi menurut Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan Untuk Diskusi, www.i-epistemology.net (05-12-2009).  
Penulis Indonesia, Reorientasi Epistemologi Islam (Sebuah Kajian Filsafat Ilmu), www.penulisindonesia.com, (05-12-2009).
Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Cet: VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Sarjuni, Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Dikutip dari Internet dalam bentuk power point. (05-12-2009).
Slamet Ibrahim S. DEA. Apt., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Materi perkuliahan di sekolah Faramasi ITB, 2008.
Ugi Suharto, Krisis Epistemologi, Nyata di Dunia Maya, www.internida.mifta.com (5-12-2009).
Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Cet. II; Damsiq: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H.
Wikipedia, Epistemologi, www.wikipedia.com, (5-12-2009). 


 Sarjuni, Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer, Dikutip dari Internet dalam bentuk power point. (05-12-2009).
 Oesman Bakar, Epistemologi menurut Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan Untuk Diskusi, www.i-epistemology.net (05-12-2009).  
 M. Quraish Shihab, Kebenaran Ilmiah al-Qur’an, Bukti Kebenaran Al-Quran, Pemahaman dan Tafsir Al-Quran, www.al-quran.bahagia.us.com, (Dikutip, 05-12-2009). 
 QS: Saba’: 36. 
 Dani Permana, Kebenaran Ilmiah al-Qur’an. www.old.nabble.com, (Dikutip, 05-12-2009). 
 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Cet.II; Yogyakarta: Belikar, 2005), h. 20.
 Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu (Cet: VIII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 16.
 H. G. Sarwar, Filsafat al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 22.
 Wikipedia, Epistemologi, www.wikipedia.com, (5-12-2009). 
 Ugi Suharto, Krisis Epistemologi, Nyata di Dunia Maya, www.internida.mifta.com (5-12-2009). 
 Oesman Bakar, Epitemologi Menurut Perspektif Islam: Beberapa Isu Pilihan untuk Diskusi, www.i-epistemology.net, (5-12-2009).  
 Wahbah ibn Mustafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Cet. II; Damsiq: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H.) Jilid 27 h. 203.
 QS: al-Sajadah: 7-9.
 Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 66. 
 Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) h. 58.
 Dewi Blog’s, Kebenaran Ilmiah, www.dewi.students-blog.undip.ac.id. (05-12-2009). 
 Penulis Indonesia, Reorientasi Epistemologi Islam (Sebuah Kajian Filsafat Ilmu), www.penulisindonesia.com, (05-12-2009/.  
 Ading Nasrullah, Epistemologi Islam, www.filsafatindonesia1001.wordpress.com, (05-12-2009). 
 Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982),
 Ismaun, Filsafat Ilmu (Diklat Kuliah, Bandung: UPI Bandung, 2001), 
 Jujun S. Suriasumantri, Op.Cit., h. 56.
 QS: Al-Baqarah: 219.
 L.O \. Kattsoft, Unsur-unsur Filsafat (Cet. V; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992 M.), h. 243-244.
 QS: al-Furqa>n: 53.
 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 116.
 QS: Al-Isra>’: 32.
 Muhammad Sayyid T}ant{a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t}. CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, www.altafsir.com, vol. 1 h. 4046.
 QS: Al-Furqa>n: 68.
 QS: Al-An’a>m: 151.
 QS: Al-Baqarah: 261.
 Louis O. Kattof, Element of Philosophy, terj. Sujono Sumarno, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 136. 
 Ayat yang menggunakan kata naz}ara dan segala bentuknya (yang menunjukkan arti pengalaman/perhatian) berulang dalam al-Qur’an 131 kali. Lihat: Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m (al-Qa>hirah: Da>r al-Hadi>s|, t.th.), h. 705.
 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net, (5-12-2009).  
 QS: al-Nahl: 78.
 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), h. 136.
 kata ‘aqala dan segala bentuknya berulang sebanyak 49 kali, tafakkur dan segela bentuknya berulang sebanyak 17 kali, kata tadabbur berulang sebanyak 4 kali. Lihat: Muhammad Fua>d Abdul Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m, op.cit, h. 468, 525 dan 252.
 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
 QS: Al-Kahfi: 65.
 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an tentang Epistemologi, www.i.epistemology.net, (5-12-2009). 
 Slamet Ibrahim S. DEA. Apt., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Materi perkuliahan di sekolah Faramasi ITB, 2008.
 C.A. Van Puersen, Opbow Van De Wetenschap Eren Inleiding Inde Wetenschaper, terj. J. Drost, Susunan Ilmu Pengantar (Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu) (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 84.
 Wikipedia Indonesia, Positivisme, www.id.wikipwdia. (5-12-2009).   
 QS: Al-Zumar: 9.
 QS: Ali Imran: 66.
 Lihat: QS: al-Isra’: 85.
 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Gazali, Jawahir al-Qur’an (Cet. I; Bairut: Dar Ihya’ al-‘Ulum, 1985), h. 21.
 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 41.
 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), h. 196. Bandingkan dengan Mahmud Kamil Abd Shamad, I’jaz al-Ilmi fi al-Qur’an, h. 201.
 QS: Yu>nus: 6.
 Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-Ilmi (t.tp. Dar al_Fikr al-Arabi, t.t.), 79-80.
 QS: al-Kahfi: 25.

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates