oleh : abdul Gaffar. S. Th. I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fatimiyah merupakan penguasa Syiah yang berkuasa di berbagai wilayah di Maghreb, Mesir, dan Syam dari 909 hingga 1171. Negara ini dikuasai oleh Syi'ah Isma'iliyah. Fatimiyah berasal dari sutu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Afriqiya) yang didirikan pada tahun 909 oleh Abdullah al-Mahdi. Namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Dinasti ini terkadang disebut pula dengan Bani Ubaidillah, sesuai dengan nama pendiri dinasti.[1]
Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Maroko, Aljazair, Libya, Palestina, Suriah, Yaman dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama abad pertengahan akhir yang saat itu dialami Eropa.[2]
Kemajuan Fatimiyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada kecakapan daripada keturunan, toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti orang-orang Kristen dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.[3]
Pada 1040-an, Ziriyah (gubernur Afrika Utara di masa Fatimiyah) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Fatimiyah dan berpindahnya mereka ke Islam Sunni, yang menimbulkan serangan Banu Hilal yang menghancurkan. Setelah 1070, Fatimiyah mengendalikan pesisir Syam dan bagian Suriah terkena serangan bangsa Turki, kemudian Pasukan Salib, sehingga wilayah Fatimiyah menyempit sampai hanya meliputi Mesir. Setelah terjadi pembusukan sistem politik Fatimiyah pada 1160-an, penguasa Zengid Nur ad-Din memerintahkan jenderalnya, Salahuddin al-Ayyubi, menaklukkan Mesir pada 1169 membentuk dinasti Ayyubi Sunni.[4]
Bagimanapun juga, dinasti Fatimiyah merupakan salah satu warna dari perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa periode, dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam. Meskipun kedinastian ini menganut aliran Syi’ah Ismailiyah, tapi toh masih dalam bingkai Islam. Oleh karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama Islam harus tetap dijunjung tinggi dan dihargai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang terurai dalam latar belakang masalah, penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah munculnya dinasti Fatimiyah?
2. Mengapa dinasti Fatimiyah mencapai kejayaan dan apa saja bukti-buktinya?
3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran dinasti Fatimiyah?
PEMBAHASAN\
A. Sejarah munculnya Dinasti Fatimiyah
Mengungkap tentang sejarah munculnya dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah, tidak akan terlepas dari gerakan-gerakan Syi’ah yang muncul sebelumnya.[5] Gerakan Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan menggunakan dua model gerakan:
1. Gerakan militan (sembunyi-sembunyi)
Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i[6] dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya suku Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut pulang ke Tunisia.
2. Gerakan prontal (terang-terangan)
Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M., dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-imam Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah[7] sebagai pusat ibu kota.[8]
Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa.[9] Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu menyebabkan Islam di bawah 3 penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad, khalifah Umayyah di Cordova dan khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah.[10]
Selama berkuasa dari tahun 909 M. hingga tahun 934 M, Ubaidillah membuktikan dirinya sebagai penguasa yang mampu dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi penguasa tertinggi, dia membunuh panglima dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i. Setelah itu, dia memperluas kekuasannya sampai hampir meliputi seluruh wilayah Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah hingga perbatasan Mesir. Pada tahun 914, dia berhasil menguasai Iskandariyah, dua tahun berikutnya Delta berada dalam kekuasaannya. Kemudian dia mengirimkan seorang gubernur Baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic dan pulau-pulau lainnya pernah merasakan kedahsyatan armada yang diwarisi dari dinasti Aghlabiah.[11]
Pasca wafatnya Ubaidillah, pemerintahan diambil alih oleh puteranya yaitu Abu al-Qasim Muhammad al-Qaim[12] yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946 M. kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 935, dia mengirim armada untuk menyerbu pantai utara Prancis, menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria dan berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi tidak berhasil.[13] Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952 M.
Penaklukkan Mesir berhasil dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada tahun 952-975 M.[14] Penyerbuan ke Mesir itu dilakukan dengan dalih untuk melindungi kaum Syi’ah yang di sana[15] dengan mengirimkan seorang panglima Jendaral Jawhar al-S}iqilli> berkebangsaan Sisilia atau Yunani, sekaligus untuk merebut kekuasaan dari tangan gubernur Abbasiyah Abu> al-Khawa>rij pada tahun 969 M.[16]
Sejak kemenangannya atas ibu kota Fusthat[17] pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan Masjid Agung al-Azhar yang dikemudian hari berkembang menjadi universitas dan membuat markas baru dengan nama al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini kemudian menjadi pusat kota dinasti Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan berhasil menaklukkan kota Damaskus.
Untuk mengetahui sekilas tentang dinasti Fatimiyah, berikut adalah para khalifah dinasti Fatimiyah:
1. Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinastii Fatimiyah.
2. Abu al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3. Isma'il al-Mansur bi-llah (946-952).
4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanhir bi-llah (1036 M - 1094 M).
9. Al-Musta'li bi-Allah (1094 M-1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. Al-Amir bi Ahkam Allah (1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid (1130 M - 1149 M).
12. Al-Wafir (1149 M - 1154 M).
13. Al-Fa'iz (1154 M - 1160 M).
14. Al-'Adid (1160 M - 1171 M). Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun lebih berakhir.[18]
B. Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai saat al-Muiz pindah dari ibu kota al-Mahdiyah ke al-Qahirah (Kairo). Dan puncak kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian dan nama al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya.[19]
Al-Aziz berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan famor penguasa Bagdad. Al-Aziz rela menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak kalah megah dari istana Abbasiyah, Al-Aziz menjadi penguasa Fatimiyah yang bijaksana dan paling murah hati.[20]
Salah satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah adalah pekerja istana kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan 8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer . bahkan khalifah al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata dengan ketinggian lima atau enam lantai.[21]
Untuk melihat dan mengukur kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262 tahun, berikut adalah beberapa kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara khusus dan seluruh dunia secara umum:
a. Agama
Dalam bidang agama, dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap bahwa para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka sebelumnya.[22]
b. Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari tempat ibadah semata menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi Amrillah (996-1021 M.), didirikanlah sebuah akademi yang diberi nama da>r al-hikmah[23] (kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain.
Di samping itu, dinasti Fatimiyah juga mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam untuk mempelajari astronomi, astrologi, kedokteran, kimia dan sejenisnya.[24] Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz|i>r.[25]
c. Politik
Sistem pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah ditentukan oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu diperkuat dengan penamaan-penamaan khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah dll. Namun jika melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung maka disebut juga monarki bahkan bisa disebut monarki absolut.[26] Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang direkrut dari orang yang mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.
d. Militer
Peninggalan dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari pasar budak di Afrika dan dari orang Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav yang menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.[27]
e. Ekonomi
Untuk meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai lintas hasil pertanian agar pendapatan negara dari sektor pajak bisa ditingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar sebagai kurs.[28]
Sementara pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.[29]
f. Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu warisan dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo[30] yang dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada tahun 975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi keramik dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah dan bertahan hingga tahun 868 M.[31]
g. Seni
Periode Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir, kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.[32]
h. Arsitektur
Salah satu bukti yang paling kuat adalah berdirinya Masjid al-Azhar[33] yang dibangun oleh Jendral Jawhar pada 972 M.[34] Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang menjadi ciri khas Irak Utara.[35]
C. Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Setelah hampir 50 tahun menapaki sejarah keemasannya sejak masa pemerintahan Al-Mu’iz, dinasti ini mulai menurun setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz. Tindakan-tindakan kejam dari al-Hakim (996-1021) yang sangat belia (11 tahun) menjadi titik awal kegoncangan dalam dinasti Fatimiyah. Toleransi yang dijunjung sebelumnya dinafikan oleh al-Hakim, aturan-aturan yang merugikan non-Islam diberlakukan sehingga mulailah timbul ketidaksenangan. Namun pada saat al-Zhahir (1021-1035) naik tahta, dia membangun kembali kuburan suci sehingga namanya disebutkan di Masjid-masjid kekuasaan Konstantin VIII.[36]
Pada masa pemerintahan al-Mustanshir (1035-1094), penguasa terlama dalam dunia Islam yang diangkat pada usia 11 tahun, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Fatimiyah mulai melepaskan diri seperti Suriah, Palestina dan kota-kota di Afrika. Banu Saljuk dari Turki membayang-bayangi kekuasaannya, Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed memberontak dan bangsa Normandia meronrong di pedalaman Afrika.[37]
Pasca al-Mustanshir, dinasti Fatimiyah terus-menerus dirundung pertikaian, baik eksternal maupun internal, kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber kehidupan tinggal aliran sunagi Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akhirnya berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya terjadi pada saat terjadi perang salib dan Shalahuddin al-Ayyubi merebut dinasti tersebut. Dia tidak lagi mengangkat khalifah dari Fatimiyah, tapi menjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran. Adapun dinasti keamirannya kemudian dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.[38]
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain:
1. Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan identitas agama.[39]
2. Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir semua khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi begitu penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.[40]
3. Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.[41]
4. Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan Fatimiyah.[42]
5. Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha mempercepat kehancurannya.[43]
6. Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir dari khalifah al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171.[44]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan tiga ibu kota yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
2. Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai sejak pindahnya pemerintahan dari Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas dan perpustakaan, politik dengan system teokrasi dan monarki akan tetapi demokrasi di bawah level khalifah, militer dengan pasukan bayaran, ekonomi dengan infrastruktur, aturan yang adil dan menjadi jalur internasional, kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan penjilidan.
3. Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan al-Zhahir ((1021-1035) dan musnah pada masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu karena faktor eksternal berupa ronrongan dari penguasa luar dan ronrongan internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, 3 suku bangsa yang bertikai, ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat dan perebutan antara Nuruddin Zinki dengan pasukan salib di Yerussalem terhadap Mesir.
B. Implikasi
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu warna dari perjalanan dinamika umat Islam di Mesir namun telah mengukir kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam, meskipun kedinastian ini menganut aliran Syi’ah Ismailiyah. Oleh karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama Islam harus tetap dijunjung tinggi dan dihargai.
Keberhasilan dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari gerakan yang terampil dan terorganisir dan ditunjang oleh aturan-aturan yang adil seperti toleransi beragama, perlindungan terhadap pedagang kecil, pembangunan infarastruktur dan menjadikan dirinya sebagai kota internasional (penghubung kota-kota sekitarnya).
Kehancuran dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari kurang perhatian kepada masyarakat, ketidak adilan dan kepercayaan yang berlebihan terhadap orang lain, wewenang yang dominan, kekurangcakapan dan pengalaman pemimpin serta usia yang belum matang ikut mengantar pada kehancuran.
Oleh karena itu, suatu negara atau organisasi akan mampu berjaya dan eksis jika dilakukan secara terampil dan terorganisasi. Hal itu telah dipaparkan oleh Ali ibn Abi Thalib:
حق بغير نظام يغلبه باطل بنظام
Artinya: “Kebenaran tanpa terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan tanpa terorganisir”.
Disamping itu, ditunjang oleh aturan-aturan yang berpihak kepada masyarakat. Sebaliknya ketidakadilan, wewenang dominan, ketidakkredebilitasan para pemimpin akan mempercepat kehancuran sebuah lembaga atau organisasi.
Walau demikian, usaha keras dan kerja keras untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi kepada negara atau agama lebih didahulukan dan diutamakan agar terukir dalam sejarah peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah.
Akhirnya, terlepas dari kedinastian, ras, agama dan aliran, apapun yang telah diberikan dan disumbangsihkan oleh sebuah lembaga, negara, kerajaan atau dinasti harus dihargai, dijunjung dan dikenang, bahkan menjadi bahan renungan dan pelajaran oleh generasi-generasi setelahnya sebagai khazanah keilmuan, pemikiran peradaban dan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawi, Ibrahim Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-IslaMi. Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.
Al-Dimasyqi, Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I; Bairut: Dar Ih}ya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
Hitti, Philip K. History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present. diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.).
Newsroom, Republika. al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa. http://www.republikaonline.com. (20-11-2009 M.).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II. Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
[1]Ramadhani Pratama Guna, Cairo, Kota Peradaban, http://www.kebunhikmah.com, (20-11-2009 M.).
[2]Republika Newsroom, al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa, http://www.republikaonline.com, (20-11-2009 M.).
[3]M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007 M.), h. 191.
[5]Sebenarnya, sekte Syi’ah sudah lama mendambakan dan mencita-citakan berdirinya kekhalifahan yaitu sejak memudarnya kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah, namun mereka selalu mendapatkan tekanan politik dari dinasti umayyah dan Abbasiyah sehingga salah satu cara yang dilakukannya adalah taqiyah, yaitu taat kepada penguasa secara lahiriyah akan tetapi menyusun kekuatan secara diam-diam. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 190.
[6]Ia adalah seorang penduduk asli San’a Yaman yang menjelang awal abad ke-9 memproklamirkan diri sebagai pelopor paham al-mahdi dan menyebarkan hasutannya dalam suku Berber di Afrika Utara.
[7]Raqadah terletak 10 mil dari wilayah qairawan Tunisia (Afrika Utara).
[8]Namun karena Raqadah terlalu dekat dari kota pusat Sunni yaitu qairawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara Raqadah pada tahun 915. Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, Tarikh al-‘Alam al-Islami, (Diktat al-Ma’had al-Dirasah al-Islamiyah, 1998 M.) h. 259.
[9]Dinasti Aghlabiah berdiri pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid ketika dia mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah (Tunisia) pada tahun 800 M secara independen dengan gelar ami>r. untuk membendung kekuatan luar yang ingin melemahkan dinasti Abbasiyah, terutama dinasti Rustamiah (khawarij) dan Idrisiah. Kemudian pada tahun 909 M. Dinasti Aghlabiah yang dipimpin oleh Ziadatullah al-Aghlabiah III dilenyapkan oleh dinasti Fatimiah. Lihat: M. Abdul Karim, op.cit., h. 189.
[10]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 76. Al-Mahdiyah adalah nama yang diambil dari penguasa pada saat itu yaitu Ubaidillah al-Mahdi, Lihat: Ibrahim Ahmad Adawi, op.cit., h. 259.
[11]Philip K. Hitti, History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present, diter. R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs, (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI, 1429 H./2008 M.) h. 789.
[12]Dia diberi gelar dengan nama al-Qaim bi amri Allah. Lihat: Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir al-Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Cet. I; Bairut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s| al-‘Arabi>, 1408 H./1988 M.) Jilid 11 h. 203.
[13]Ibid, Jilid 11 h. 203.
[14]Keberhasilan itu tidak lepas dari kondisi Mesir yang penduduknya dapat menerima berbagai aliran mazhab dan makmur.
[15]Perlindungan itu diberikan karena terjadi sengketa pelaksanaan upaca keagamaan ‘id al-gadir.
[16]M. Abdul Karim, op.cit., h. 192.
[17]Fusthat adalah Ibu kota Mesir sejak tahun 639-969 M. dibawah dinasti Abbasiyah.
[19]Philip K. Hitti, op.cit., h. 791.
[20]Ibid, h. 791.
[21]Ibid, 798.
[22]Hal itu dilakukan oleh al-Aziz karena pengaruh dari wazirnya yang beragama Kristen Isa ibn Natshur dan istri al-Aziz yang berasal dari Rusia. Lihat: Philip K. Hitti, History of the Arabs, op.cit., h. 791.
[23]Nama ini terkait dengan pusat studi ilmu pengetahuan di Bagdad pada masa khalifah al-Makmun dari dinasti Abbasiyah.
[24]M Abdul Karim, op.cit., h. 201.
[25]Ibid, h. 202.
[26]Ibid, h. 194.
[28]M Abdul Karim, op.cit., h. 199-200.
[29]Ibid, h. 200.
[30]Al-Qahirah atau Kairo yang berarti penaklukan atau kejayaan.
[32]Philip K. Hitti, op.cit., h. 806.
[33]Nama Al-Azhar terinspirasi dari kata Zahra yang diambil dari nama belakang Sayidah Fatimah Al-Zahra putri Nabi Muhammad saw, sebagai sebuah penghormatan kepadanya. Lihat: Republika Newsroom, al-Azhar: Simbol Intelektual Islam Sepanjang Zaman, http://www.Republikaonline.com, (20-11-2009 M.).
[34]M. Abdul Karim, op.cit., h. 202.
[35]Masjid al-Azhar , Dibangun Syiah, digunakan Sunni, http://www.kalipaksi.com (20-11-2009 M).
[36] Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[37]Ibid, h. 796.
[38]Ibid, h. 796.
[39]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[40]Philip K. Hitti, op.cit., h. 792.
[41]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (20-10-2009).
[42]Philip K. Hitti, op.cit., h. 794.
[43]Anggota Pondok Baca, Dinasti Fatimiyah, http://www.blogger.com, (20-10-2009).
[44]Philip K. Hitti, op.cit., h. 796.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....