oleh: Sudirman, S.Th.I
PENDAHULUAN
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan dalam kedalaman mutiara untaian kalimatnya. Dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Mufassir juga dituntut untuk menghapus kesalahpahaman terhadap al-Qur’an, kandungan ayat-ayatnya dan pesan-pesannya agar dapat diterima dan diterapkan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Perbedaan latar belakang pendidikan dan keilmuan para mufassir mengantarkan mereka pada perbedaan interpretasi terhadap al-Qur’an sekaligus mempunyai peranan penting bagi maju mundurnya umat. Penafsiran-penafsiran yang muncul mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Para mufassir yang masuk kategori Mutaqaddimin (hidup sebelum tahun 300 H) memberikan interpretasi terhadap al-Qur’an berdasarkan penafsiran Rasulullah, sahabat dan tabi’in atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-Ma’tsur. Sedangkan kelompok Mutaakhirin (hidup setelah tahun 300 H) mencoba mengembangkan interpretasi terhadap al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan nalar atau logika. Meskipun tidak pernah membuang 100 % tafsir pendahulunya. Pada masa mutaakhirin inilah bermunculan kitab-kitab tafsir yang masing-masing memiliki corak dan warna yang berbeda dalam mengungkap pesan-pesan al-Qur’an, baik yang bercorak bi al-ma’tsur maupun yang berorientasi al-ra’yu (logika)
Salah satu tafsir yang muncul pada masa itu adalah Tafsir al-Jawahir. Tafsir al-Jawahir meskipun disusun pada abad ke-9 Hijriyah, tetapi model penyusunannya tetap mengikuti pola-pola yang digunakan oleh para mufassir mutaqaddimin. Hal itu dilakukan oleh penyusun tak lepas dari latar belakang pendidikan dan krakteristik yang beliau miliki. Beliau sangat terkenal akan kezuhudan, kewara’an dan kewaliannya sehingga dalam memberikan interpretasi terhadap al-Qur’an tidak berani melakukan inovasi-inovasi baru sesuai dengan masanya. Walaupun demikian, Tafsir al-Jawahir masih layak untuk dikaji sebagai tambahan hazanah keilmuan para pemerhati al-Qur’an khususnya tafsir.
Riwayat, yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir bil ma’tsur merupakan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ayat yang menjadi penjelas, dengan ucapan yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari sahabat dan tabi’in yang kesemuanya sebagai keterangan dan penjelasan bagi maksud dari nash-nash kitab al-Qur’an.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma’tsur adalah corak pemikiran yang berusaha menafsirkan al Qur’an berdasarkan keterangan atau riwayat. Dan tentu saja corak penafsiran seperti ini memiliki kualitas penafsiran yang sangat tinggi karena tafsiran-tafsirannya dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya bukti riwayat dari para pendahulu.
Corak penafsiran kedua adalah dengan rasio, yang sering disebut dengan tafsir bil ra’yi. Dimana ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan ijtihad mufassirnya dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utamanya.
Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan rasio berusaha membuka tabir rahasia yang menutupi mutiara ilmu yang terdapat di dalam lautan kalam Ilahi. Sebab al-Qur’an sendiri berisi konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang masih bersifat universal dan sebagainya yang maih perlu diperjelas, dijabarkan dan dioperasionalkan, agar dengan mudah dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Tafsir bi al-ra’yi sesuai dengan namanya ra’yu (rasio) memiliki berbagai macam pandangan dalam melihat al-Qur’an. Ini semua, disebabkan oleh perbedaan kecenderungan, interest dan motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya.
Akan tetapi dalam tafsir bi al-ra’yi ini memerlukan ketelitian yang maximal. Bahkan para ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi diterimanya tafsir bi al-ra’yi :
Untuk melacak metode yang digunakan oleh Imam al-Tsa’alaby dalam menyusun kitabnya sangatlah sulit karna kitab ini tidak termasuk kitab induk dan tidak mendapat perhatian seperti halnya kitab tafsir karangan at-Thabary, tafsir Ibnu Katsir, tafsir mafatihul ghaib karangan al-Razy dan al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyary. Hal itu dapat dimaklumi bahwa kitab al-Jawahir ini hanyalah rangkuman dari ratusan kitab sebelumnya. Metode yang digunakan Imam al-Tsa’alaby hanya dapat diketahui dari mukaddimah kitab itu sendiri, dimana pengarangnya memberikan komentar yang panjang mengenai kitab al-Jawahir tersebut.
Setelah membaca dengan seksama muqaddimah kitab al-Jawahir dan membandingkan dengan ibarat yang terdapat dalam kitab tafsir wa al-Mufassirun, Kitab Ibnu ‘Athiyyah dan yang lain. Penulis dapat mengatakan bahwa metode yang digunakan oleh Imam al-Tsa’alaby dalam menyusun kitab al-Jawahir sebagai berikut:
Untuk lebih mengenal lebih jauh tentang tafsir al-Jawahir, penulis akan mencoba memberikan satu contoh penafsiran al-Tsa’alaby terhadap surah al-Ikhlash sebagai sampel penafsiran al-Tsa’alaby dalam kitabnya al-Jawahir ini sebagai berikut :
Bagi dosen pembimbing, sebaiknya memberikan nama-nama kitab atau buku yang menjadi literatur dalam pembuatan makalah agar waktu tidak terbuang hanya untuk mencari referensi.
R E F E R E N S I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesan yang tersimpan dalam kedalaman mutiara untaian kalimatnya. Dan menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakat sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Mufassir juga dituntut untuk menghapus kesalahpahaman terhadap al-Qur’an, kandungan ayat-ayatnya dan pesan-pesannya agar dapat diterima dan diterapkan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Perbedaan latar belakang pendidikan dan keilmuan para mufassir mengantarkan mereka pada perbedaan interpretasi terhadap al-Qur’an sekaligus mempunyai peranan penting bagi maju mundurnya umat. Penafsiran-penafsiran yang muncul mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Para mufassir yang masuk kategori Mutaqaddimin (hidup sebelum tahun 300 H) memberikan interpretasi terhadap al-Qur’an berdasarkan penafsiran Rasulullah, sahabat dan tabi’in atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-Ma’tsur. Sedangkan kelompok Mutaakhirin (hidup setelah tahun 300 H) mencoba mengembangkan interpretasi terhadap al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan nalar atau logika. Meskipun tidak pernah membuang 100 % tafsir pendahulunya. Pada masa mutaakhirin inilah bermunculan kitab-kitab tafsir yang masing-masing memiliki corak dan warna yang berbeda dalam mengungkap pesan-pesan al-Qur’an, baik yang bercorak bi al-ma’tsur maupun yang berorientasi al-ra’yu (logika)
Salah satu tafsir yang muncul pada masa itu adalah Tafsir al-Jawahir. Tafsir al-Jawahir meskipun disusun pada abad ke-9 Hijriyah, tetapi model penyusunannya tetap mengikuti pola-pola yang digunakan oleh para mufassir mutaqaddimin. Hal itu dilakukan oleh penyusun tak lepas dari latar belakang pendidikan dan krakteristik yang beliau miliki. Beliau sangat terkenal akan kezuhudan, kewara’an dan kewaliannya sehingga dalam memberikan interpretasi terhadap al-Qur’an tidak berani melakukan inovasi-inovasi baru sesuai dengan masanya. Walaupun demikian, Tafsir al-Jawahir masih layak untuk dikaji sebagai tambahan hazanah keilmuan para pemerhati al-Qur’an khususnya tafsir.
- Rumusan Masalah
- Siapakah sebenarnya Al-Tsa’alaby itu ?
- Sejauh mana perbedaan tafsir bi al-Ma’tsur dengan tafsir bi al-ra’iy
- Metode apa yang digunakan oleh al-Tsa’alaby dalam penyusunan kitabnya dan kunggulan dan kekurangan apa yang dimilikinya?
- Biogarfi Al-Tsa’alaby
- al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an,
- adz-Dzahab al-Ibriz fi gharaib al-Qur’an al-Karim
- Tuhfah al-Ikhwan fi I’rab Ba’dhi Ayat al-Qur’an
- Jami’ al-Ummahat fi ahkam al-‘Ibadat dll.
- Perbedaan Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’iy
Riwayat, yang lebih dikenal dengan sebutan tafsir bil ma’tsur merupakan penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan ayat yang menjadi penjelas, dengan ucapan yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari sahabat dan tabi’in yang kesemuanya sebagai keterangan dan penjelasan bagi maksud dari nash-nash kitab al-Qur’an.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma’tsur adalah corak pemikiran yang berusaha menafsirkan al Qur’an berdasarkan keterangan atau riwayat. Dan tentu saja corak penafsiran seperti ini memiliki kualitas penafsiran yang sangat tinggi karena tafsiran-tafsirannya dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya bukti riwayat dari para pendahulu.
Corak penafsiran kedua adalah dengan rasio, yang sering disebut dengan tafsir bil ra’yi. Dimana ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan ijtihad mufassirnya dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan utamanya.
Hanya saja, perlu dipahami bahwa para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan rasio berusaha membuka tabir rahasia yang menutupi mutiara ilmu yang terdapat di dalam lautan kalam Ilahi. Sebab al-Qur’an sendiri berisi konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang masih bersifat universal dan sebagainya yang maih perlu diperjelas, dijabarkan dan dioperasionalkan, agar dengan mudah dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia.
Tafsir bi al-ra’yi sesuai dengan namanya ra’yu (rasio) memiliki berbagai macam pandangan dalam melihat al-Qur’an. Ini semua, disebabkan oleh perbedaan kecenderungan, interest dan motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya.
Akan tetapi dalam tafsir bi al-ra’yi ini memerlukan ketelitian yang maximal. Bahkan para ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi diterimanya tafsir bi al-ra’yi :
- Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya.
- Mengetahui asbab an Nuzul, nasikh wa al-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lainnya
- Tidak menafsirkan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya
- Tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan interest pribadi
- Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut.
- Tafsir bi al-ma’tsur merupakan penafsirann yang mendahulukan riwayat atau keterangan yang sudah ada. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi merupakan penafsiran yang lebih mendahulukan hasil karya atau interpretasi seseorang terhadap al-Qur’an yang didasari atas kualitas ilmu dan wawasan sang penafsir
- Tafsir bil ma’tsur karena berdasarkan periwayatan sehingga lebih mudah diketahui kebenaran dan kekurangannya. Sedangkan tafsir bil ra’yi agak sulit mengetahui kebenaran tafsiran tersebut
- Tafsir bil ma’tsur meiliki bentuk penafsiran yang sama dan jarang mengalami perubahan. Sedangkan tafsir bil ra’yu memilki bentuk penafsiran yang terkadang terjadi karena perbedaan interpretasi, latar belakang, situasi dan kondisi pada saat penafsiran
- Manhaj Tafsir al-Jawahir
Untuk melacak metode yang digunakan oleh Imam al-Tsa’alaby dalam menyusun kitabnya sangatlah sulit karna kitab ini tidak termasuk kitab induk dan tidak mendapat perhatian seperti halnya kitab tafsir karangan at-Thabary, tafsir Ibnu Katsir, tafsir mafatihul ghaib karangan al-Razy dan al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyary. Hal itu dapat dimaklumi bahwa kitab al-Jawahir ini hanyalah rangkuman dari ratusan kitab sebelumnya. Metode yang digunakan Imam al-Tsa’alaby hanya dapat diketahui dari mukaddimah kitab itu sendiri, dimana pengarangnya memberikan komentar yang panjang mengenai kitab al-Jawahir tersebut.
Setelah membaca dengan seksama muqaddimah kitab al-Jawahir dan membandingkan dengan ibarat yang terdapat dalam kitab tafsir wa al-Mufassirun, Kitab Ibnu ‘Athiyyah dan yang lain. Penulis dapat mengatakan bahwa metode yang digunakan oleh Imam al-Tsa’alaby dalam menyusun kitab al-Jawahir sebagai berikut:
- Kebanyakan kandungan tafsir al-Jawahir diambil dan dirangkum dari kitab al-Muharra al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karangan Ibnu ‘Athiyyah.
- Melakukan penambahan-penambahan dari + 100 kitab masyhur sebelumnya sesuai dengan ilmu yang beliau tangkap dan riwayatkan dari ulama sebelumnya
- Setiap menukil pendapat para mufassir terdahulu, penyusun menukil lafal dan ibaratnya tanpa berani menukil secara makna atau pemahaman dengan alasan khawatir terjadi salah interpretasi.
- Setiap pendapat ulama dalam kitab ini memiliki kode masing-masing, misalnya setiap pembahasan yang berakhir dengan kata إنتهى maka pendapat itu bukan dari Ibnu ‘Athiyyah, kode ت ” “ berarti pendapat pribadi penyusun, kode العين ” “ untuk pendapat Ibnu ‘Athiyyah, untuk kode الصاد”” dikhususkan kepada as-Shaqisy, sedangkan penukilan dari Abi Hayyan menggunakan kode “م”. Dan masih banyak lagi kode-kode dalam kitab al-jawahir ini.
- Pembahasan kitab al-Jawahir meliputi tafsir, hadis, nahwu, ilmu Qira’at sastra arab dan kisah-kisah Israiliyyat.
- Pengarang juga menyebutkan sumber-sumber pengambilan beberapa disiplin ilmu yang tertera dalam kitab ini, seperti ilmu I’rab dinukil dari Ibnu ‘Athiyyah dan al-Shafaqisy. Hadis shahih dan hasan diriwayatkan dari al-Bukhari, Muslim, Abi Daud dan Turmudzi sedangkan hadis yang bukan dari kitab mereka dalam bab al-Adzkar wa al-Da’awat dinukil dari kitab an-Nawawi dan Silah al-Mu’min, mayoritas hadis dalam bab al-Targhib wa al-Tarhib wa ahwal al-Akhirah dipindah dari kitab al-Tadzkirah karangan al-Qurthuby dan kitab al-‘Aqibah susunan Abdul Haq.
- Dalam muqaddimah kitab al-Jawahir, penyusun menyebutkan beberapa fasal yang sangat erat kaitannya dengan tafsir seperti bab keutamaan al-Qur’an, keutamaan tafsir al-Qur’an, tingkatan para mufassir dan lain-lain yang kesemuanya diambil dari muqaddimah kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah.
Untuk lebih mengenal lebih jauh tentang tafsir al-Jawahir, penulis akan mencoba memberikan satu contoh penafsiran al-Tsa’alaby terhadap surah al-Ikhlash sebagai sampel penafsiran al-Tsa’alaby dalam kitabnya al-Jawahir ini sebagai berikut :
تفسير سورة الاخلاص قيل مكية وقال ابن عباس مدنية بسم الله الرحمن الرحيم روي ان اليهود دخلوا على النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا له يا محمد صف لنا ربك وانسبه فانه وصف نفسه في التوارة ونسبها فارتعد النبي صلى الله عليه وسلم من قولهم حتى خر مغشيا عليه ونزل جبريل بهذه السورة واحد معناه واحد فرد من جميع جهات الوحدانية ليس كمثله شيء وهو ابتداء والله ابتداء ثان واحد خبره والجملة خبر الاول وقيل هو ابتداء والله خبره واحد بدل منه وقرأ عمر بن الخطاب وغيره قل هو الله الواحد الصمد والصمد في كلام العرب السيد الذي يصمد اليه في الامور ويستقل بها وانشدوا لقد بكر الناعى بخير بنى اسد بعمرو بن مسعود وبالسيد الصمد وبهذا تتفسر هذه الآية لان الله تعالى جلت قدرته هو موجد الموجودات واليه تصمد وبه قوامها سبحانه وتعالى وقوله تعالى لم يلد ولم يولد رد على اشارة الكفار في النسب الذي سألوه وقال ابن عباس تفكروا في كل شيء ولا تتفكروا في ذات الله قال ع لان الافهام تقف دون ذلك حسيرة وقوله سبحانه ولم يكن له كفؤا احد معناه ليس له ضد ولا ند ولا شبيه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير والكفؤ النظير وكفؤا خبر كان واسمها احد قال ص وحسن تاخير اسمها لوقوعه فاصلة وله متعلق بكفؤا اي لم يكن احد كفؤا له وقدم اهتماما به لاشتماله على ضمير الباري سبحانه انتهى وفي الحديث الصحيح عنه صلى الله عليه وسلم ان قل هو الله احد تعدل ثلث القرءان قال ع لما فيها من التوحيد وروى ابو محمد الدارمى في مسنده قال حدثنا عبدالله بن مزيد حدثنا حيوة قال اخبرنا ابو عقيل انه سمع سعيد بن المسيب يقول ان النبي صلى الله عليه وسلم قال من قرأ قل هو الله احدى عشرة مرة بني له قصر في الجنة ومن قرأها عشرين مرة بني له قصران في الجنة ومن قرأها ثلاثين مرة بنى له ثلاثة قصور في الجنة فقال عمر بن الخطاب اذن تكثر قصورنا يا رسول الله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اوسع من ذلك اي فضل الله اوسع من ذلك قال الدارمى ابو عقيل هو زهرة بن معبد وزعموا انه من الابدال انتهى من التذكرة
- Keistimewaan dan Kekurangan Tafsir al-Jawahir
- Ruang lingkupnya yang cukup luas karena telah merangkum ratusan kitab
- Sudah melalui penyaringan yang super ketat dengan berusaha menukil kata-kata mufassir sebelumnya tanpa berani merubah redaksinya
- Melalui klasifikasi yang jitu dengan mengambil hal-hal yang bermanfaat saja dari kitab-kitab masyhur yang lain.
- Kurang kompoten dan komplit dalam penafsiran karna hanya membahas luarnya saja (kulit-kulitnya)
- Kurang memperhatikan dan tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi masa beliau hidup dengan hanya menukil pendapat terdahulu.
- Masih menggunakan metode lama dalam penafsirannya.
- Tidak mengungkapkan penafsiran para mufassir yang menggunakan metode pendekatan rasio untuk membanidingkan dengan tafsi ala ma’tsur.
- Kesimpulan
- At-Tsa’alaby seorang ulama maroko yang sangat terkenal keilmuan dan kesalehan
- Corak penafsiran al-Qur’an terbagi ada yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’iy
- Metode al-Tsa’alaby dalam kitab al-Jawahir adalah meresume kitab al-Muharra al-Wajiz karangan Ibnu ‘Athiyyah dengan menambah sedikit dari kitab-kitab yang lain.
- Kitab al-Jawahir memiliki beberapa keunggulan dan kemanfaatan khususnya bagi pemula dan tentunya tidak lepas dari kekurangan-kekurangan.
- Saran-saran
Bagi dosen pembimbing, sebaiknya memberikan nama-nama kitab atau buku yang menjadi literatur dalam pembuatan makalah agar waktu tidak terbuang hanya untuk mencari referensi.
R E F E R E N S I
- Al-Tsa’alaby, Tafsir al-Tsa’alaby al-Mausum bijawahir al-Hasan.
- Al-Dzahaby, Dr. Muhammad Husain, Al-Tafsir wa al-Mufassirun,
- Dr. Abdullah Ali Ja’far, Musaid Muslim, Atsar al-Tathawwur al-Fikry fi al-Tafsir, Muassah al-Rasilah, Bairut
- Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Muassah al-Rasilah, Bairut
- Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2005
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....