oleh: Muhammad Agus, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” demikian salah satu firman Allah di dalam al Qur’an –tepatnya QS. Al Isra’ : 70 – yang mengabarkan bahwa manusia lahir dengan kemuliaan. Ayat tersebut juga seakan mengingatkan manusia akan sebuah kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara serta menjaga kemuliaan yang diberikan kepadanya. Kemuliaan yang dimaksud tidak dapat diraih atau dipertahankan dengan hanya memperbaiki dan memikirkan diri sendiri, tapi lebih dari itu cahaya kemuliaan harus terpatri lewat usaha merealisasikan nilai-nilai kemuliaan tersebut kepada sesama.
Di antara bentuk realisasi tersebut adalah mengaplikasikan nilai-nilai salat dalam kehidupan keseharian yang menjadi tanda keberimanan seseorang. Karena memang salat mengandung pesan-pesan moral yang menuntun manusia dalam menciptapkan suasana menuju kemuliaan yang didambakan. Itulah sebabnya, seseorang pernah berdoa : “Allahumma ij’alni min al qalil”. Ketika itu Umar bertanya mengenai makna doa tersebut, maka orang itu menghubungkan doanya dengan firman Allah SWT QS. Saba’ : 13 yang mengindikasikan kurangnya hamba yang mampu mensyukuri nikmat Allah dengan baik. Karena itulah lahir sebuah ungkapan “katsirun man shaalla wa qalilun man aqama al shalah” banyak orang yang salat namun hanya sedikit yang mendirikan salat.
Apa perbedaan di antara dua kata tersebut –melaksanakan dan mendirikan salat- dan ternyata ayat-ayat yang memerintahkan salat sebagian besar menggunakan term أقام yang berarti mendirikan.
Tetapi seiring bacaan al Qur’an dan pelaksanaan ibadah ritual salat sehari semalam ternyata tidak sedikit ditemukan ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, sementara pelakunya tak lain dan tak bukan adalah orang yang rajin salat. Sementara di satu sisi diyakini bahwa salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan tercela. Bila hal ini terjadi, maka muncul sebuah alasan “untuk memurnikan nilai-nilai salat” yaitu orang tersebut belum memahami dan melaksanakan salat yang sebenarnya atau ia belum mendirikan salat.
Berdasarkan fakta dan kenyataan di atas disertai “suara-suara” keraguan mengenai apa dan bagaimana salat tersebut, maka penulis berusaha menyusun makalah yang mengkaji salat menurut pandangan al Qur’an. Apatah lagi memang hubungan antara al Qur’an dan salat bagaikan hubungan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada salat tanpa bacaan al Qur’an, minimal bacaan QS. Al Fatihah yang oleh Dr. Fadh Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi menggambarkan bahwa salat adalah tiang agama, sementara al Fatihah adalah tiangnya salat[1], karena tidak sah salat tanpa membacanya.[2]
Bahkan kedekatan hubungan antara salat dan al Qur’an ditandai dengan pengungkapan salat –terkadang- menggunakan term al Qur’an. Contohnya dapat dilihat pada QS. Al Isra’ ; 78. Hal ini kembali mempertegas keterkaitan di antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “salat dalam perspektif al Qur’an”, maka permasalahan pokok yang akan dijadikan kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Salat Menurut al Qur’an
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal kata الصلاة . sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود,[3] itulah sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat –utamanya shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan),[4] makna seperti ini terlihat pada firman Allah SWT :
Kata الصلاة dalam ayat tersebut berarti تزكية الله وملائكته والمسلمين إياه “penyucian atau pemuliaan Allah, para malaikat dan orang-orang Islam kepada Nabi Muhammd”.[5] Hanya saja oleh sebagian ulama diklasifikaikan sumber shalat tersebut, bila asalnya dari Allah maka itu berarti rahmat dan kasih sayang, bila iu berasal dari makhluk termasuk para malaikat, jin dan manusia maka itu berarti doa dan permohonan ampunan.
Shalat juga –oleh sebagian ulama dipahami- bisa berasal dari kata صلى “masuk, terbakar atau terpanggang”[6]. Penyebutan kata tersebut dapat dilihat pada firman Allah SWT : فسوف نصليه نارا (QS. Al Nisa’ ; 30). Masih ada beberapa pendapat ulama mengenai asal makna kata الصلاة misalnya ia bermakna التعظيم “mengagungkan”. Ibadah yang khusus ini dinamakan salat karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Suci.[7] Namun tampaknya dari semua pengertian tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain paling tidak keterkaitannya adalah shalat merupakan sesuatu yang baik yang akan mengantarkan seseorang menemukan kebaikan, baik itu berupa dikabulkannya doa dan permohonan, datangnya rahmat Allah dan atau terlepas dari api neraka. Sebagaimana disebutkan oleh Ragib al Asfahani bahwa ketika salat berasal dari akar kata صلى yang berarti masuk dan terbakar maka kalimat صلى الرجل berarti ذاد وأزال عن نفسه بهذه العبادة الصلى الذي هو نار الله الموقدة “melindungi dan membebaskan dirinya dengan ibadah yang khusus tersebut dari api neraka”.[8]
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير، مختتَمة بالتَّسليم yang berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[9]
Tampaknya pengambilan defenisi “diawali dengan takbir dan diakhhiri dengan salam” ini berdasarkan dengan hadis Rasuullah SAW yang berbunyi :
Kendatipun pengertian salat ini cukup beragam, baik secara etimologi maupun terminologi namun pada dasarnya semuanya saling menguatkan. Karena makna shalat secara etimologi telah tercakup dalam makna terminologinya. Bahkan oleh ulama dikatakan bahwa penamaan ibadah khusus tersebut dengan shalat karena kemampuannya merangkum nilai-nilai etimologi kata tersebut dalam substansinya, misalnya doa, tasbih, dan pengagungan atau pemuliaan.[11]
Demikian makna shalat menurut bahasa dan istilah syar’inya, tetapi bagaimana defenisi shalat dalam tinjauan al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya bila kita melihat terlebih dahulu pengggunaan kata shalat dalam al Qur’an. Sebab ternyata dalam beberapa ayat, shalat tidak hanya berkonotasi untuk shalat lima waktu saja, tetapi juga termasuk shalat-shalat yang lain. Demikian pula shalat lima waktu tidak selalu memakai lafazh shalat namun terkadang dengan ungkapan yang lain.
Ungkapan-ungkapan lain yang penulis maksudkan bermakna shalat, di antaranya adalah :
Adapun term الصلاة dan berbagai macam perubahannya di dalam al Qur’an terulang sekitar 107 ayat.[16] Baik dalam bentuk masdar, fi’il maupun isim fa’ilnya, termasuk pula situasi dan keadaan yang dibicarakan. Dari keanekaragaman tersebut maka bisa ditarik pemahaman bahwa salat di dalam al Qur’an tidak hanya bermakna shalat (dalam arti ruku’, sujud, berdiri dan duduk) namun juga dengan makna yang lain. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut :
Sepanjang pengetahuan penulis, di dalam al Qur’an tidak ada ayat yang menunjukkan secara langsung tata cara shalat (kaifiat shalat). Karena perintah shalat datang dengan makna yang umum. Rasulullah Saw sebagai mufassir al Qur’an yang kemudian menjelaskan kaifiat shalat, dengan kata lain perintah shalat –term yang berarti shalat secara syar’i/terminologi- di dalam al Qur’an adalah shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai dengan beberapa rukun dan syarat-syarat tertentu sesuai dengan yang dibuktikan oleh Rasulullah Saw sebagai penerima perintah shalat tersebut. Hal ini tergambar dalam sabdanya :
Sekalipun di dalam al Qur’an tidak disebutkan secara langsung mengenai tata cara shalat akan tetapi di sana terdapat beberapa ayat yang mengindikasikan rukun-rukun shalat termasuk duduk, berdiri, ruku’ dan sujud. Sebagai contoh, berdiri yang menjadi salah satu rukun fi’liyah shalat, dapat dilihat pada firman Allah SWT : حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين “peliharalah semua shalatmu dan peliharalah shalat wustha serta berdirilah untuk Allah dengan khusyu’”. (QS. Al Baqarah; 238).[22]
Adapun contoh ayat yang mewakili rukun qauliyah shalat –dalam hal ini kewajiban membaca al Fatihah- dapat dilihat pada firman Allah SWT ; فاقرءوا ما تيسر منه وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al Qur’an. Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat” (QS. Al Muzammil; 20), di dalam ayat tersebut disebutkan ayat secara umum lalu hadis Nabi menjelaskan kewajiban tersebut dengan bacaan al Fatihah ; لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب “tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca al Fatihah”.[23]
B. Karakteristik Pelaku Shalat (Mushalli) Menurut al Qur’an
Sebelum berbicara mengenai karakteristik mushalli yang disebutkan di dalam al Qur’an, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang shalat dan term yang menunjukkan perintah shalat.
Di dalam al Qur’an akan ditemukan –setidaknya- dua term atau ungkapan yang terkait dengan shalat. Pertama, ketika al Qur’an memerintahkan shalat atau memuji orang yang melakukan shalat, hampir semua ungkapan itu disertai dengan kata iqamah “mendirikan” atau kata-kata yang terbentuk darinya. Sebagai contoh firman Allah SWT : وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah; 43). Atau pada ayat lain ; من ءامن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وءاتى الزكاة “ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikn salat dan menunaikan zakat”.
Sebenarnya ada beberapa ayat yang memuji orang yang melakukan salat namun tidak menggunakan kata iqamah. Misalnya pada firman Allah SWT : الا المصلين “kecuali orang-orang yang melaksanakan salat” (Qs. Al Ma’arij; 22). Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang memiliki sifat هلوع atau سرعة الجزع “cepat berkeluh-kesah”. Ketika mendapatkan keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat. Akan tetapi sekalipun pujian tersebut hanya menggunakan kata shalat yang tidak disertai dengan اقام dan semacamnya, tetapi lanjutan ayat tersebut menjelaskan mushalli yang dimaksud yaitu الذين هم على صلاتهم دائمون “yaitu mereka yang konsisten terhadap salatnya”. Oleh sebagian ulama termasuk di antaranya Imam al Razi menjelaskan bahwa makna kata دوام adalah tidak meninggalkan salat, dan memelihara salatnya dengan melaksanakannya sesuai dengan aturan-aturannya serta mendirikan salat dalam segala aspek.[24]
Kedua, term yang dipergunakan al Qur’an adalah kata الصلاة itu sendiri dan kata yang terbentuk darinya tanpa ada kata yang bermakna “mendirikan”. Hanya saja perlu dipahami bahwa ketika al Qur’an menyebutkan pelaku shalat hanya dengan menggunakan term صلى maka itu berarti celaan bagi orang-orang yang mengerjakan shalat karena lalai di dalamnya atau tidak memaknai shalat dengan makna yang sebenarnya,[25] sehingga al Qur’an menganggapnya tidak mendirikan shalat. Sebagai contoh ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq atau orang-orang yang mendustakan agama; فويل للمصلين “Sungguh celaka bagi orang-orang yang shalat”. (QS. Al Ma’un ; 4)
Demikian dua term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang melakukan shalat, atau dalam istilah yang lain orang yang mendirikan shalat dan orang yang melaksanakan shalat. Ragib al Asfahani menjelaskan maksud kata اقامة “mendirikan” adalah menyempurnakan syarat dan hak-haknya bukan sekedar melaksanakan gerakan-gerakannya.[26] Olehnya itu muncul sebuah ungkapan ان المصلين كثير والمقيمين لها قليل “banyak orang yang melaksanakan shalat namun hanya sedikit yang mendirikannya”.
Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekedar melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar, shalat adalah gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku’, sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya, tetapi yang mendatangkan pahala adalah yang mendirikan shalat disertai dengan kehadiran hati di dalamnya. Hal ini pulalah yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Walaupun zhahirnya gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat di dalam menghadirkan hati dan kekhusyu’an.
C. Urgensi Shalat Menurut al Qur’an
Al Qur’an menyebutkan shalat dengan lafazh yag berbeda, bentuk yang bermacam-macam dan susunan kalimat yang beraneka ragam. Suatu saat dengan perintah yang jelas dan di saat lain dengan cara pemberitaan. Kadangkala dengan janji dan di tempat lain dengan ancaman. Semua itu menunjukkan besarnya perhatian al Qur’an terhadap shalat di samping sebagai penegasan terhadapnya.
Keterangan-keterangan yang beraneka ragam tersebut juga mengindikasikan pada urgensi shalat itu sendiri. Bahkan bukan hanya itu, al Qur’an secara tegas memerintahkan seseorang untuk selalu minta pertolongan di antaranya adalah dengan shalat. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah SWT QS. Al Baqarah ; 45 واستعينوا بالصبر والصلاة “mintalah pertolongan dengan sebar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bila kita membaca ayat-ayat yang terkait dengan shalat maka akan ditemukan banyak urgensi shalat dalam kehidupan ini. Namun penulis hanya membatasinya pada tiga urgensi saja, yang dapat dilihat sebagai berikut ;
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai konsep shalat menurut al Qur’an, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ;
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali –paling tidak memeriksa referensi yang digunakan- makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang shalat termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana konsep al Qur’an tentang shalat. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim
Al Rumi, Fadh Abdurrahman bin Sulaiman, Konsep Shalat Menurut al Qur’an; Telaah Kritis Tentang Fiqh Shalat (al Shalat fi Nazhrit al Qur’an), terj. Abdullah Abbas. Jakarta. Firdaus. 1991.
Al Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiyah. 1992.
Al Naisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi, Shahih Muslim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1996.
Al Asfahani, Al Raghib, al Mufradat fi Gharib al Qur’an. Mesir. al Maimanah. 1424 H.
Al Alusi, Syihabuddin al Sayyid Mahmud, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim. Beirut. Dar al FIkr. 1993.
Al Bahwati, Mansur bin Yunus, al Raudhu al Murabba’. Riyadh. Maktabah al Riyadh al Haditsah. 1390 H.
Al Malyabari, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al ‘Ain. Surabaya. Bungkul Indah. tt.
Al Razi, Fakhruddin, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Ibnu Katsir, ‘Imaduddin Abu al Fadha’I Ismail, Tafsir al Qur’an al Azhim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1997.
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, al Mu’jam al Mufahras li Alfazhi al Qur’an al Karim. Kairo. Dar al Hadits. 1994.
Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad, al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Beirut. Dar Ihya al Turats al Arabi. 1965.
Al Baihaqi, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan al Baihaqi al Kubra. Makkah al Mukarramah. Maktabah Dar al Baz. 1994.
Al Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Daud .Hims Suriah. Dar al Hadits. tt.
TIGA DIMENSI PENAFSIRAN
Implimentasi substansi shalat dalam al-Qur’an
[1] Fadh Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi, Konsep Shalat Menurut al Qur’an; Telaah Kritis Tentang Fiqh Shalat (al Shalat fi Nazhrit al Qur’an), terj. Abdullah Abbas (Jakarta;Firdaus, 1991), cet. I, hal. III
[2] Hal ini sesuai dengan hadis Nabi ; لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب . lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhri, Shahih al Bukhari (Beirut; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1992), jil. I, hal. 263. Dan Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1996), jil. I, hal. 295.
[3] Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al Arab (Kairo; Dar al Hadits, 1995), jil. XIV, hal. 464
[4] Al Raghib al Asfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an (Mesir; al Maimanah, 1424 H), hal. 329
[5] Lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. VII, hal. 204.
[6] Lihat Ibnu Munzdzir, Op.Cit, jil. XIV, hal. 465.
[7] Ibid, hal. 466.
[8] Ragib al Asfahani, Op.Cit, hal. 328
[9] Mansur bin Yunus al Bahwati, al Raudhu al Murabba’ (Riyadh; Maktabah al Riyadh al Haditsah, 1390 H), jil. I, hal. 118.
[10] Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud (Hims Suriah; Dar al Hadits, tt), jil. I, hal. 63, dan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. II, hal. 3.
[11] Lihat Zainuddin bin Abdul Aziz al Malyabari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al ‘Ain (Surabaya; Bungkul Indah, tt), hal. 3
[12] Lihat Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. I, hal. 342
[13] Lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. II, hal. 143
[14] ‘Imaduddin Abu al Fadha’I Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1997), jil. I, hal. 234.
[15] Ibnu katsir, Op.Cit, jil.
[16] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al Mu’jam al Mufahras li Alfazhi al Qur’an al Karim (Kairo; Dar al Hadits, 1994), hal. 524-525
[17] Ibnu Katsir, Op.Cit, jil. VI , hal. 457.
[18] Lihat Ibnu Katsir, Op.Cit. jil. V , hal. 433.
[19] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. VIII, hal. 456.
[20] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. X, hal. 149.
[21] Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al Baihaqi, Sunan al Baihaqi al Kubra (Makkah al Mukarramah; Maktabah Dar al Baz, 1994), jil. II, hal. 345.
[22] Al Qurthuby menjelaskan bahwa qunut artinya berdiri, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Bakar bin Ambari dan yang telah disepakati oleh umat bahwa berdiri dalam salat fardhu hukumnya wajib atas setiap orang sehat dan kuat baik di saat salat sendiri maupun berjama’ah. Lihat Abu Abdillah Muhammad al Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an (Beirut; Dar Ihya al Turats al Arabi, 1965), jil. II, hal. 286.
[23] Al Qurthubi menjelaskan bahwa jumhur ulama telah sepakat bahwa bacaan selain al Fatihah hukumnya tidak wajib.
[24] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. XVI, hal. 32 dan Ibnu Katsir, Op.Cit, jil. VIII, hal. 288
[25] Makna yang dimaksud di antaranya firman Allah SWT QS. Al Ankabut, 45
[26] Ragib al asfhani, Op.Cit, hal. 329
[27] Fadh Abdurrahman, Op.Cit, hal. 68.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” demikian salah satu firman Allah di dalam al Qur’an –tepatnya QS. Al Isra’ : 70 – yang mengabarkan bahwa manusia lahir dengan kemuliaan. Ayat tersebut juga seakan mengingatkan manusia akan sebuah kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara serta menjaga kemuliaan yang diberikan kepadanya. Kemuliaan yang dimaksud tidak dapat diraih atau dipertahankan dengan hanya memperbaiki dan memikirkan diri sendiri, tapi lebih dari itu cahaya kemuliaan harus terpatri lewat usaha merealisasikan nilai-nilai kemuliaan tersebut kepada sesama.
Di antara bentuk realisasi tersebut adalah mengaplikasikan nilai-nilai salat dalam kehidupan keseharian yang menjadi tanda keberimanan seseorang. Karena memang salat mengandung pesan-pesan moral yang menuntun manusia dalam menciptapkan suasana menuju kemuliaan yang didambakan. Itulah sebabnya, seseorang pernah berdoa : “Allahumma ij’alni min al qalil”. Ketika itu Umar bertanya mengenai makna doa tersebut, maka orang itu menghubungkan doanya dengan firman Allah SWT QS. Saba’ : 13 yang mengindikasikan kurangnya hamba yang mampu mensyukuri nikmat Allah dengan baik. Karena itulah lahir sebuah ungkapan “katsirun man shaalla wa qalilun man aqama al shalah” banyak orang yang salat namun hanya sedikit yang mendirikan salat.
Apa perbedaan di antara dua kata tersebut –melaksanakan dan mendirikan salat- dan ternyata ayat-ayat yang memerintahkan salat sebagian besar menggunakan term أقام yang berarti mendirikan.
Tetapi seiring bacaan al Qur’an dan pelaksanaan ibadah ritual salat sehari semalam ternyata tidak sedikit ditemukan ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, sementara pelakunya tak lain dan tak bukan adalah orang yang rajin salat. Sementara di satu sisi diyakini bahwa salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan tercela. Bila hal ini terjadi, maka muncul sebuah alasan “untuk memurnikan nilai-nilai salat” yaitu orang tersebut belum memahami dan melaksanakan salat yang sebenarnya atau ia belum mendirikan salat.
Berdasarkan fakta dan kenyataan di atas disertai “suara-suara” keraguan mengenai apa dan bagaimana salat tersebut, maka penulis berusaha menyusun makalah yang mengkaji salat menurut pandangan al Qur’an. Apatah lagi memang hubungan antara al Qur’an dan salat bagaikan hubungan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada salat tanpa bacaan al Qur’an, minimal bacaan QS. Al Fatihah yang oleh Dr. Fadh Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi menggambarkan bahwa salat adalah tiang agama, sementara al Fatihah adalah tiangnya salat[1], karena tidak sah salat tanpa membacanya.[2]
Bahkan kedekatan hubungan antara salat dan al Qur’an ditandai dengan pengungkapan salat –terkadang- menggunakan term al Qur’an. Contohnya dapat dilihat pada QS. Al Isra’ ; 78. Hal ini kembali mempertegas keterkaitan di antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “salat dalam perspektif al Qur’an”, maka permasalahan pokok yang akan dijadikan kajian utama tergambar dalam rumusan-rumusan berikut ini :
- Apa pengertian salat menurut al Qur’an?
- Bagaimana hubungan antara substansi salat dan pelakunya menurut al Qur’an?
- Bagaimana urgensi salat menurut al Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Salat Menurut al Qur’an
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal kata الصلاة . sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود,[3] itulah sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat –utamanya shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan),[4] makna seperti ini terlihat pada firman Allah SWT :
ان الله وملائكته يصلون على النبي يآأيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersalawat kepada Nabi Muhammad, wahai orang-orang yang beriman bersalawat dan bertaslimlah kepadanya (Nabi Muhammad)”. (QS. Al Ahzab ; 56).Kata الصلاة dalam ayat tersebut berarti تزكية الله وملائكته والمسلمين إياه “penyucian atau pemuliaan Allah, para malaikat dan orang-orang Islam kepada Nabi Muhammd”.[5] Hanya saja oleh sebagian ulama diklasifikaikan sumber shalat tersebut, bila asalnya dari Allah maka itu berarti rahmat dan kasih sayang, bila iu berasal dari makhluk termasuk para malaikat, jin dan manusia maka itu berarti doa dan permohonan ampunan.
Shalat juga –oleh sebagian ulama dipahami- bisa berasal dari kata صلى “masuk, terbakar atau terpanggang”[6]. Penyebutan kata tersebut dapat dilihat pada firman Allah SWT : فسوف نصليه نارا (QS. Al Nisa’ ; 30). Masih ada beberapa pendapat ulama mengenai asal makna kata الصلاة misalnya ia bermakna التعظيم “mengagungkan”. Ibadah yang khusus ini dinamakan salat karena di dalamnya terdapat pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Suci.[7] Namun tampaknya dari semua pengertian tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain paling tidak keterkaitannya adalah shalat merupakan sesuatu yang baik yang akan mengantarkan seseorang menemukan kebaikan, baik itu berupa dikabulkannya doa dan permohonan, datangnya rahmat Allah dan atau terlepas dari api neraka. Sebagaimana disebutkan oleh Ragib al Asfahani bahwa ketika salat berasal dari akar kata صلى yang berarti masuk dan terbakar maka kalimat صلى الرجل berarti ذاد وأزال عن نفسه بهذه العبادة الصلى الذي هو نار الله الموقدة “melindungi dan membebaskan dirinya dengan ibadah yang khusus tersebut dari api neraka”.[8]
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير، مختتَمة بالتَّسليم yang berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[9]
Tampaknya pengambilan defenisi “diawali dengan takbir dan diakhhiri dengan salam” ini berdasarkan dengan hadis Rasuullah SAW yang berbunyi :
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“Kunci salat adalah bersuci, yang melarang dari melakukan sesuatu adalah takbir, dan dan yang membolehkannya adalah salam”[10]Kendatipun pengertian salat ini cukup beragam, baik secara etimologi maupun terminologi namun pada dasarnya semuanya saling menguatkan. Karena makna shalat secara etimologi telah tercakup dalam makna terminologinya. Bahkan oleh ulama dikatakan bahwa penamaan ibadah khusus tersebut dengan shalat karena kemampuannya merangkum nilai-nilai etimologi kata tersebut dalam substansinya, misalnya doa, tasbih, dan pengagungan atau pemuliaan.[11]
Demikian makna shalat menurut bahasa dan istilah syar’inya, tetapi bagaimana defenisi shalat dalam tinjauan al Qur’an? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya bila kita melihat terlebih dahulu pengggunaan kata shalat dalam al Qur’an. Sebab ternyata dalam beberapa ayat, shalat tidak hanya berkonotasi untuk shalat lima waktu saja, tetapi juga termasuk shalat-shalat yang lain. Demikian pula shalat lima waktu tidak selalu memakai lafazh shalat namun terkadang dengan ungkapan yang lain.
Ungkapan-ungkapan lain yang penulis maksudkan bermakna shalat, di antaranya adalah :
- Lafazh الذكر sebagaimana yang terdapat pada firman Allah QS. Al Jumu’ah : 9 فاسعوا الى ذكر الله… , oleh sebagian ulama dipahami makna kata الى ذكر الله bermakna shalat jum’at.[12] Atau misalnya juga pada firman-Nya QS. Al Baqarah: 239. …فإذا أمنتم فاذكروا الله… oleh sebagian ulama tafsir -termasuk al Alusi- memahami makna kalimat فاذكروا الله dengan فصلوا صلاة الأمن .[13]
- Lafazh استغفار , sebagaimana pada firman Allah QS. Al Dzariyat; 18. وبالأسحار هم يستغفرون “Dan di akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah”. Oleh Mujahid dan sebagian ulama yang lain ditafsirkan kata istighfar tersebut dengan يصلون “mereka salat” karena di dalam shalat terdapat pemohonan ampunan dan di saat itulah istighfar paling baik dipanjatkan.[14]
- Lafazh السجود , seebagaimana yang terdapat pada firman Allah SWT QS. Al Syu’ara; 219. وتقلبك في الساجدين “dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang sujud”. Oleh Ibnu Abbas kata الساجدين dipahami sebagai المصلين[15]
- Lafazh القرآن , sebagaimana pada ayat ان قرآن الفجر كان مشهودا “sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan”. (QS. Al Isra’ ; 78).
Adapun term الصلاة dan berbagai macam perubahannya di dalam al Qur’an terulang sekitar 107 ayat.[16] Baik dalam bentuk masdar, fi’il maupun isim fa’ilnya, termasuk pula situasi dan keadaan yang dibicarakan. Dari keanekaragaman tersebut maka bisa ditarik pemahaman bahwa salat di dalam al Qur’an tidak hanya bermakna shalat (dalam arti ruku’, sujud, berdiri dan duduk) namun juga dengan makna yang lain. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut :
- Shalat berarti doa, sebagaimana firman Allah SWT : …وصل عليهم ان صلوتك سكن لهم “Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu menjadi ketentraman bagi mereka” (QS. Al Taubah : 103).
- Shalat berarti pujian, ampunan dan rahmat. Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Al Ahzab ; 56) ان الله وملائكته يصلون على النبي. يآأيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما di sini, al Bukhari mengomentari bahwa salawat Allah bermakna pujian Allah kepada Nabi Muhammad di sisi para malaikat, atau bisa juga berarti rahmat sebagaimana penjelasan al Turmudzi bahwa salawat Allah adalah rahmat, dan salawat para malaikat adalah permohonan ampunan.[17]
- Shalat berarti rumah ibadah atau gereja, sebagaimana firman Allah Ta’ala : ولو لا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوت ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagaimana manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Yahudi dan mesjid-mesjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”. (QS. Al Hajj; 40). Ibnu Abbas dalam menafsirkan kata صلوت ia maknai sebagai tempat ibadah non muslim. Sebagian ulama memahaminya sebagai gereja nashrani, sementara yang lain menganggapnya sebagai gereja Yahudi.[18]
- Salat berarti agama, sebagaimana firman Allah SWT ; أصلوتك تأمرك “Apakah agamamu menyuruh kamu…” (QS. Hud ; 87). Sebagaimana dijelaskan oleh al Razi bahwa kata salat dalam ayat tersebut memiliki makna dari dua kemungkinan yaitu agama atau iman dan amal-amal tertentu.[19]
- Salat berarti bacaan, sebagaimana firman Allah SWT : ولا تجهر بصلوتك “Janganlah engkau keraskan bacaanmu”. (QS. Al Isra’ ; 110). Kata salat dalam ayat ini dapat berarti bacaan –khususnya- al Qur’an. Seperti yang diungkapkan oleh al Razi bahwa maknanya adalah bacaan al Qur’an. Sekalipun di sana terdapat penafsiran yang lain bahwa shalat bermakna doa.[20]
- Shalat berarti shalat dengan maksud pengertian terminologi, baik yang berupa shalat lima waktu maupun shalat-shalat yang lain. Dan inilah makna shalat yang kebanyakan disebutkan di dalam al Qur’an sekaligus makna inilah yang menjadi kajian utama dalam makalah ini. Hal itu dapat dilihat pada firman Allah SWT ; ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة “mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat” (QS. Al Baqarah ; 2). Atau فصل لربك وانحر “salatlah –berupa salat ‘Id- kepada Tuhan-Mu dan berkurbanlah”.
Sepanjang pengetahuan penulis, di dalam al Qur’an tidak ada ayat yang menunjukkan secara langsung tata cara shalat (kaifiat shalat). Karena perintah shalat datang dengan makna yang umum. Rasulullah Saw sebagai mufassir al Qur’an yang kemudian menjelaskan kaifiat shalat, dengan kata lain perintah shalat –term yang berarti shalat secara syar’i/terminologi- di dalam al Qur’an adalah shalat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai dengan beberapa rukun dan syarat-syarat tertentu sesuai dengan yang dibuktikan oleh Rasulullah Saw sebagai penerima perintah shalat tersebut. Hal ini tergambar dalam sabdanya :
صلوا كما رأيتموني أصلي فإذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم أحدكم وليؤمكم أكبركم
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat, apabila waktu shalat telah masuk maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan yang lebih tua dari kalian menjadi imam”.[21]Sekalipun di dalam al Qur’an tidak disebutkan secara langsung mengenai tata cara shalat akan tetapi di sana terdapat beberapa ayat yang mengindikasikan rukun-rukun shalat termasuk duduk, berdiri, ruku’ dan sujud. Sebagai contoh, berdiri yang menjadi salah satu rukun fi’liyah shalat, dapat dilihat pada firman Allah SWT : حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين “peliharalah semua shalatmu dan peliharalah shalat wustha serta berdirilah untuk Allah dengan khusyu’”. (QS. Al Baqarah; 238).[22]
Adapun contoh ayat yang mewakili rukun qauliyah shalat –dalam hal ini kewajiban membaca al Fatihah- dapat dilihat pada firman Allah SWT ; فاقرءوا ما تيسر منه وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al Qur’an. Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat” (QS. Al Muzammil; 20), di dalam ayat tersebut disebutkan ayat secara umum lalu hadis Nabi menjelaskan kewajiban tersebut dengan bacaan al Fatihah ; لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب “tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca al Fatihah”.[23]
B. Karakteristik Pelaku Shalat (Mushalli) Menurut al Qur’an
Sebelum berbicara mengenai karakteristik mushalli yang disebutkan di dalam al Qur’an, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang shalat dan term yang menunjukkan perintah shalat.
Di dalam al Qur’an akan ditemukan –setidaknya- dua term atau ungkapan yang terkait dengan shalat. Pertama, ketika al Qur’an memerintahkan shalat atau memuji orang yang melakukan shalat, hampir semua ungkapan itu disertai dengan kata iqamah “mendirikan” atau kata-kata yang terbentuk darinya. Sebagai contoh firman Allah SWT : وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah; 43). Atau pada ayat lain ; من ءامن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وءاتى الزكاة “ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikn salat dan menunaikan zakat”.
Sebenarnya ada beberapa ayat yang memuji orang yang melakukan salat namun tidak menggunakan kata iqamah. Misalnya pada firman Allah SWT : الا المصلين “kecuali orang-orang yang melaksanakan salat” (Qs. Al Ma’arij; 22). Ayat ini berbicara mengenai sifat dan keadaan manusia yang memiliki sifat هلوع atau سرعة الجزع “cepat berkeluh-kesah”. Ketika mendapatkan keburukan dan kebaikan selalu ada respon negatif. Tetapi ada di antara manusia yang dikecualikan oleh Allah yaitu orang-orang yang shalat. Akan tetapi sekalipun pujian tersebut hanya menggunakan kata shalat yang tidak disertai dengan اقام dan semacamnya, tetapi lanjutan ayat tersebut menjelaskan mushalli yang dimaksud yaitu الذين هم على صلاتهم دائمون “yaitu mereka yang konsisten terhadap salatnya”. Oleh sebagian ulama termasuk di antaranya Imam al Razi menjelaskan bahwa makna kata دوام adalah tidak meninggalkan salat, dan memelihara salatnya dengan melaksanakannya sesuai dengan aturan-aturannya serta mendirikan salat dalam segala aspek.[24]
Kedua, term yang dipergunakan al Qur’an adalah kata الصلاة itu sendiri dan kata yang terbentuk darinya tanpa ada kata yang bermakna “mendirikan”. Hanya saja perlu dipahami bahwa ketika al Qur’an menyebutkan pelaku shalat hanya dengan menggunakan term صلى maka itu berarti celaan bagi orang-orang yang mengerjakan shalat karena lalai di dalamnya atau tidak memaknai shalat dengan makna yang sebenarnya,[25] sehingga al Qur’an menganggapnya tidak mendirikan shalat. Sebagai contoh ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq atau orang-orang yang mendustakan agama; فويل للمصلين “Sungguh celaka bagi orang-orang yang shalat”. (QS. Al Ma’un ; 4)
Demikian dua term yang digunakan al Qur’an dalam menyebutkan orang yang melakukan shalat, atau dalam istilah yang lain orang yang mendirikan shalat dan orang yang melaksanakan shalat. Ragib al Asfahani menjelaskan maksud kata اقامة “mendirikan” adalah menyempurnakan syarat dan hak-haknya bukan sekedar melaksanakan gerakan-gerakannya.[26] Olehnya itu muncul sebuah ungkapan ان المصلين كثير والمقيمين لها قليل “banyak orang yang melaksanakan shalat namun hanya sedikit yang mendirikannya”.
Dari sini diketahui bahwa perintah shalat bukan hanya sekedar melakukan gerakannya saja, melainkan lebih dari itu. Benar, shalat adalah gerakan badan dan bacaan yang tertentu terdiri dari berdiri, duduk, ruku’, sujud, tasbih, tahmid dan sebagainya, tetapi yang mendatangkan pahala adalah yang mendirikan shalat disertai dengan kehadiran hati di dalamnya. Hal ini pulalah yang membedakan antara orang-orang melakukan shalat. Walaupun zhahirnya gerakan-gerakan dan waktunya sama tetapi ia akan berbeda dan bertingkat-tingkat di dalam menghadirkan hati dan kekhusyu’an.
C. Urgensi Shalat Menurut al Qur’an
Al Qur’an menyebutkan shalat dengan lafazh yag berbeda, bentuk yang bermacam-macam dan susunan kalimat yang beraneka ragam. Suatu saat dengan perintah yang jelas dan di saat lain dengan cara pemberitaan. Kadangkala dengan janji dan di tempat lain dengan ancaman. Semua itu menunjukkan besarnya perhatian al Qur’an terhadap shalat di samping sebagai penegasan terhadapnya.
Keterangan-keterangan yang beraneka ragam tersebut juga mengindikasikan pada urgensi shalat itu sendiri. Bahkan bukan hanya itu, al Qur’an secara tegas memerintahkan seseorang untuk selalu minta pertolongan di antaranya adalah dengan shalat. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah SWT QS. Al Baqarah ; 45 واستعينوا بالصبر والصلاة “mintalah pertolongan dengan sebar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bila kita membaca ayat-ayat yang terkait dengan shalat maka akan ditemukan banyak urgensi shalat dalam kehidupan ini. Namun penulis hanya membatasinya pada tiga urgensi saja, yang dapat dilihat sebagai berikut ;
- Salat menjadi tanda sekaligus motivator meningkatnya keimanan. Bagaimana shalat tidak menjadi tanda keimanan sementara ia adalah tiang agama yang tidak bisa tegak tanpa dengannya. Banyak ayat yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya QS. Al Mukminun ; 1,2 dan 9. Di dalam ayat tersebut Allah mengulangi penyebutan kata shalat dan pelakunya yang menunjukkan betapa agung orang beriman yang di antara cirinya adalah rajin shalat sekaligus menegakkannya. Ini pula berarti bahwa ketika seseorang telah memiliki keimanan maka secara otomatis ia akan selalu berusaha baik dan berbuat baik.
- Shalat menjadi tuntunan kebaikan sekaligus tameng atau benteng dari keburukan. Bagaimana tidak, sementara shalat merupakan ibadah yang paling mulia sekaligus sarana pendekatan kepada Tuhan yang paling baik. Sehingga kesadaran akan dekatnya Tuhan menyebabkan seseorang selalu memaknai hidupnya sesuai dengan keinginan Sang Pemberi Kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat pada firman Allah SWT QS. Al ‘Ankabut ; 45 إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Bahkan bukan hanya itu, shalat juga mengajarkan kedisiplinan yang menjadi salah satu syarat utama dari sebuah keberhasilan. Lihat misalnya QS. Al Nisa’ 103 yang menegaskan bahwa shalat adalah ibadah yang memiliki batas-batas waktu tertentu.
- Shalat menjadi salah satu faktor turunnya rahmat Allah. Allah SWT menyebutkan di dalam QS. Al Nur ; 56 وأقيموا الصلاة وءاتوا الزكاة وأطيعوا الرسول لعلكم ترحمون “Dan dirikanlah shlat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Rasulllah supaya kamu diberi rahmat”. Di dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan tiga syarat turunnya rahmat dan yang paling pertama disebutkan adalah shalat. Yang demikian itu karena di dalam mendirikan shalat terdapat pemenuhan terhadap naluri manusia yaitu butuh, lemah, suka meminta, mengharapkan perlindungan, berdoa, munajat dan menyerahkan segala urusan kepada yang lebih kuat, penyayang, penyantun dan lebih sempurna. Shalat juga menjadi bukti nyata akan kesyukuran dan penghambaan diri kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang mendirikan shalat bagaikan ikan yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, maka apabila ia keluar dari air ia sangat membutuhkannya dan ingin sekali lari kembali ke dalamnya.[27]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai konsep shalat menurut al Qur’an, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ;
- Al Qur’an dalam menyebutkan shalat menggunakan banyak istilah yang kesemuanya itu menunjukkan keterkaitan shalat dengan lafazh yang digunakan. Shalat juga di dalam al Qur’an memiliki banyak arti dan makna sesuai dengan konteks dan qarinah-qarinah yang ada. Akan tetapi di saat al Qur’an menyebutkan kata shalat tetapi tidak ada qarinah yang mengindikasikan makna lain, maka shalat yang dimaksud adalah shalat menurut sya’ri atau istilah.
- Al Qur’an ketika memerintahkan shalat atau ketika memuji orang yang melaksanakan shalat selalu dibarengi dengan kata iqamah atau yang seakar dengannya. Namun ketika berbicara tentang sekelompok orang yang shalat tetapi mereka tidak menghayati hakikatnya maka yang digunakan hanya term mushalli tanpa dibarengi dengan kata iqamah. Perbedaan penyebutan ini mengindikasikan perbedaan tingkatan dan kualitas orang yang melakukan shalat. Ada orang yang hanya sebatas mushalli atau hanya melaksanakan shalat saja dengan tidak memperhatikan syarat dan rukunnya atau shalat yang dilaksanakan didasari dengan riya’ atau shalat tersebut tidak dimaknai sesuai dengan arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Adapula orang yang melaksanakan shalat disebut muqimus shalat, artinya ia bukan hanya sekedar melaksanakan ritual shalat tetapi ia pun mampu menegakkan dan mendirikannya sehingga shalat mampu menjadi tiang agama yang kokoh baginya.
- Shalat adalah ibadah yang sangat mulia memiliki banyak keutamaan dan urgensi. Di antaranya, shalat adalah tanda keimanan, shalat adalah tuntunan kebaikan dan tameng dari segala keburukan atau dengan kata lain shalat adalah kunci keistiqamahan, shalat juga menjadi sarana untuk mendapatkan rahmat Allah SWT. Sekian banyak ayat yang terkait dengan shalat yang kesemuanya menunjukkan penting dan mulianya shalat sehingga sungguh merugi orang yang melalaikannya.
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sehingga penulis hanya mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak, termasuk dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan tulisan dan pengetahuan penulis. Apatah lagi penulis yakin bahwa makalah ini masih sangat jauh dari standar sebuah karya ilmiah. Bahkan sebuah kebahagiaan besar jika ada pihak yang berusaha meneliti kembali –paling tidak memeriksa referensi yang digunakan- makalah ini sehingga hasil penelitian tersebut dapat lebih valid.
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang shalat termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana konsep al Qur’an tentang shalat. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim
Al Rumi, Fadh Abdurrahman bin Sulaiman, Konsep Shalat Menurut al Qur’an; Telaah Kritis Tentang Fiqh Shalat (al Shalat fi Nazhrit al Qur’an), terj. Abdullah Abbas. Jakarta. Firdaus. 1991.
Al Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiyah. 1992.
Al Naisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi, Shahih Muslim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1996.
Al Asfahani, Al Raghib, al Mufradat fi Gharib al Qur’an. Mesir. al Maimanah. 1424 H.
Al Alusi, Syihabuddin al Sayyid Mahmud, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim. Beirut. Dar al FIkr. 1993.
Al Bahwati, Mansur bin Yunus, al Raudhu al Murabba’. Riyadh. Maktabah al Riyadh al Haditsah. 1390 H.
Al Malyabari, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al ‘Ain. Surabaya. Bungkul Indah. tt.
Al Razi, Fakhruddin, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Ibnu Katsir, ‘Imaduddin Abu al Fadha’I Ismail, Tafsir al Qur’an al Azhim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1997.
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, al Mu’jam al Mufahras li Alfazhi al Qur’an al Karim. Kairo. Dar al Hadits. 1994.
Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad, al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Beirut. Dar Ihya al Turats al Arabi. 1965.
Al Baihaqi, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan al Baihaqi al Kubra. Makkah al Mukarramah. Maktabah Dar al Baz. 1994.
Al Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats, Sunan Abi Daud .Hims Suriah. Dar al Hadits. tt.
TIGA DIMENSI PENAFSIRAN
- Eksisteensi substansi = eksistennsinya di dalam al-Qur’an
Implimentasi substansi shalat dalam al-Qur’an
- shalat harus ada iqmah (eksternal dan internal / pra ddan pascanya)
- shalat harus khusyu’ (internal)
- shalat harus dawam (shalat sebagai media hubungan horisontal dengan Allah yang berkesinambungan)
- shalat harus dijaga waktu2 nya (al-muhafzhah)
- Fungsi dan urgensinya di dalam al-Qur’an (menghindarkan manusia dari perbuat keji dan mungkar)
- Produk atau hasil yang diperoleh dari aplikasi ibadah menurut al-Qur’an (agar manusia kembali kepada hakikatnya : pengakuan manusia terhadap Allah sebagai Tuhan satu-satunya). Dengan terimplementasinya sifat-sifat Allah dalam dirinya.
[1] Fadh Abdurrahman bin Sulaiman al Rumi, Konsep Shalat Menurut al Qur’an; Telaah Kritis Tentang Fiqh Shalat (al Shalat fi Nazhrit al Qur’an), terj. Abdullah Abbas (Jakarta;Firdaus, 1991), cet. I, hal. III
[2] Hal ini sesuai dengan hadis Nabi ; لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب . lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhri, Shahih al Bukhari (Beirut; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1992), jil. I, hal. 263. Dan Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1996), jil. I, hal. 295.
[3] Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al Arab (Kairo; Dar al Hadits, 1995), jil. XIV, hal. 464
[4] Al Raghib al Asfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an (Mesir; al Maimanah, 1424 H), hal. 329
[5] Lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. VII, hal. 204.
[6] Lihat Ibnu Munzdzir, Op.Cit, jil. XIV, hal. 465.
[7] Ibid, hal. 466.
[8] Ragib al Asfahani, Op.Cit, hal. 328
[9] Mansur bin Yunus al Bahwati, al Raudhu al Murabba’ (Riyadh; Maktabah al Riyadh al Haditsah, 1390 H), jil. I, hal. 118.
[10] Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud (Hims Suriah; Dar al Hadits, tt), jil. I, hal. 63, dan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. II, hal. 3.
[11] Lihat Zainuddin bin Abdul Aziz al Malyabari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratu al ‘Ain (Surabaya; Bungkul Indah, tt), hal. 3
[12] Lihat Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. I, hal. 342
[13] Lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. II, hal. 143
[14] ‘Imaduddin Abu al Fadha’I Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1997), jil. I, hal. 234.
[15] Ibnu katsir, Op.Cit, jil.
[16] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, al Mu’jam al Mufahras li Alfazhi al Qur’an al Karim (Kairo; Dar al Hadits, 1994), hal. 524-525
[17] Ibnu Katsir, Op.Cit, jil. VI , hal. 457.
[18] Lihat Ibnu Katsir, Op.Cit. jil. V , hal. 433.
[19] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. VIII, hal. 456.
[20] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. X, hal. 149.
[21] Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al Baihaqi, Sunan al Baihaqi al Kubra (Makkah al Mukarramah; Maktabah Dar al Baz, 1994), jil. II, hal. 345.
[22] Al Qurthuby menjelaskan bahwa qunut artinya berdiri, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Bakar bin Ambari dan yang telah disepakati oleh umat bahwa berdiri dalam salat fardhu hukumnya wajib atas setiap orang sehat dan kuat baik di saat salat sendiri maupun berjama’ah. Lihat Abu Abdillah Muhammad al Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an (Beirut; Dar Ihya al Turats al Arabi, 1965), jil. II, hal. 286.
[23] Al Qurthubi menjelaskan bahwa jumhur ulama telah sepakat bahwa bacaan selain al Fatihah hukumnya tidak wajib.
[24] Lihat al Razi, Op.Cit, jil. XVI, hal. 32 dan Ibnu Katsir, Op.Cit, jil. VIII, hal. 288
[25] Makna yang dimaksud di antaranya firman Allah SWT QS. Al Ankabut, 45
[26] Ragib al asfhani, Op.Cit, hal. 329
[27] Fadh Abdurrahman, Op.Cit, hal. 68.
1 komentar:
alhamdulillah, jazakumullah khairan katsiiran, amiiin syukran 'ala fikrah sahiihah,
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....