(Fenomenologi dan Intuisionisme)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Secara umum epistemologi dapat
dijelaskan sebagai cabang dari filsafat yang membahas ruang lingkup dan
batas-batas pengetahuan, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang
bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Studi ini mencari jalan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang meliputi pengkajian sumber-sumber
watak dan kebenaran pengetahuan, yaitu apakah yang diketahui oleh akal manusia?
Darimanakah kita memperoleh pengetahuan yang diandalkan atau kita harus puas
dengan pendapat-pendapat dan sangkaan? Apakah kemampuan kita terbatas dalam
mengetahui fakta pengalaman indera, atau kita dapat mengetahui lebih jauh
daripada apa yang diungkapkan oleh indera?
Sebelum sampai pada pembahasan teori
epistemologi fenomenologi dan intuisionalisme, kita klasifikasikan terlebih
dahulu persoalan-persoalan dalam bidang epistemologi. Menurut Prof. Dr. Juhaya
S.Praja, terdapat tiga persoalan dalam bidang epistemologi, yaitu :
- Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Darimana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah problem asal (origin)
- apakah watak dari pengetahuan? Apakah dunia yang riil diluar akal itu ada, kalau ada, dapatkah kita mengetahuinya?
- apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran(verification).[1]
Dalam perkembangan
pemikiran tentang persoalan-persoalan epistemologi diatas, telah muncul
berbagai teori, dari yang menggunakan rasio, kemampuan inderawi manusia, sampai
dengan kekuatan dibalik kemampuan indera manusia.
Diantara teori-teori
yang telah membuka wawasan kita tentang persoalan epistemologi adalah teori
Fenomenologi dan intuisionalisme. Teori ini telah membuka tabir kebenaran
pengetahuan dalam filsafat.
B. Rumusan
Masalah
Untuk mengenal lebih jauh epistemologi Fenomenologi dan intuisionalisme, penulis akan
membahasnya dalam 2 pokok permasalahan:
1.
Apa pengertian fenomenologi dan
bagaimana pandangan tokohnya dalam memperoleh pengetahuan?.
2.
bagaimanakah pandangan
intuisionalisme tentang cara memperoleh
pengetahuan?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani,Phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena
berkecakupan, dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan suatu fenomena atau sesuatu
yang menampakkan diri.[2]
Sedangkan Fenomenon dalam
bahasa inggris yang berarti perwujudan, gejala, kejadian natural pada kejadian
alam.[3]
Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala
sesuatu yang menampakkan diri atau dapat juga dikatakan sesuatu yang sedang
menggejala.[4]
Selanjutnya Hasan Bakti Nasution
menjelaskan istilah fenomenologi mengandung tiga pengertian yang saling terkait
yaitu yang langsung tampak, sesuatu yang menampakkan diri tapi masih terselubung,
dan proses penampakan. Jadi fenomenologi ialah filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan penampakan
diri (fenomena) obyek tersebut.[5]
Untuk memudahkan
pengertian diatas , kita ambil contoh, penyakit Flu, diantara gejalanya adalah
pilek dan batuk. Penyakit flu tidak bisa dikatakan sebagai penyakit flu jika
tidak ada gejalanya, yaitu pilek dan batuk.
Menurut para penganut fenomenologi
suatu fenomenon semata harus diamati dengan indera, sebab sebab
fenomenon juga dapat dilihat/ditilik secara rohani, tanpa melewati indra. Juga fenomenon
tidak perlu suatu pristiwa, karena suatu fenomenon adalah apa yang
menampakkan diri dalam dirinya sendiri, apa yang menampakkan diri seperti apa
adanya, apa yang jelas dihadapan kita.[6]
Aliran fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenar-benarnya dengan cara menerobos semua fenomena
yang menampakkan diri menuju kepada bendanya. Usaha ini menggabungkan antara
subyek (manusia) dan obyek (yang diamati) dengan cara pengamatan intuitif.
Dari sekian
teori kebenaran tentang pengetahuan, teori fenomenologi termasuk mampu
membuktikan dirinya sebagai salah satu sumber befikir yang kritis. Pemikiran
fenomenologi demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika.
Tokoh sentral dari
teori fenomenologi ini adalah Edmund Husserl dan pengikutnya Max
Scheler, Husserl yang lahir di Prostejov, Cekoslowakia pada tahun 1859 dan
wafat tahun 1939 adalah pendiri fenomenologi, pemikirannya terekam dalam tiga
karya pentingnya, yaitu Logiche Untersuchungen
(Penyelidikan-penyelidikan logika), ideen zu Eineer Reinen
Phanomenologischen philosophie (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi
murni dan filsafat fenomenologi), dan meditations cartesiennes
(Renungan-renungan Kartesien).diantara pemikiran-pemikiran pentingnya ialah:
1)
Teori kebenaran
Seperti
disinggung diatas, menurut Husserl kebenaran haruslah digabung antara subyek
dan obyek. Obyek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang
mengamati, sesuai dengan semboyan zu den schen selbs ( kembali kepada
benda-benda itu sendiri). Kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah
“benda-benda” diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakekat
dirinya.Pernyataan tentang hakekat “ benda-benda” tidak lagi tergantung kepada
orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh benda-benda itu
sendiri.[7]
Akan tetapi “benda-benda”
tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui
pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa, bukanlah hakekat. Benda itu ada
dibalik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran yang pertama(first look) tidak membuka tabir yang menutupi
hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang
digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini, adalah intuisi atau
wesenchau dari hakekat gejala-gejala.[8]
Dalam usaha melihat
hakekat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang
dimaksud dengan reduksi adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang
obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan
penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche,
yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua kurung, maksudnya adalah
melupakan pengertian pengertian-pengertian obyek untuk sementara dan berusaha
melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Reduksi ini adalah salah satu
prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang
fenomenolog bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau
pengertian-pengertian yang telah ada, dalam hal ini obyek diberi kesempatan
“berbicara tentang dirinya sendiri”.
2) Jenis-jenis reduksi
Agar
intuisi dapat menangkap gejala-gejala secara benar, maka manusia harus
melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari,dengan cara menggunakan tiga jenis
reduksi, yaitu:
a.
Reduksi fenomenologis
Fenomena apa yang
tersebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari, kita
tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah
cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata.
Kita telah
meyakininya sebagai realitas diluar kita. Akan tetapi karena yang dituju
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya dan ia dapat
dicapai dengan mengalami secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai
realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau
dibuat dalam kurung. Segala subyektifitas disingkirkan, termasuk dalam hal ini
teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang membentuk pikiran
kita dalam memandang sesuatu (fenomena), sehingga yang timbul adalah fenomena
itu sendiri.
b.
Reduksi Eiditis
Eiditis berasal dari
kata eido, yaitu intisari.[9]
Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan didalam kurung. Segala hal
yang bukan eidos. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas.
Dengan reduksi eiditas semua segi, aspek dan profil fenomena yang hanya
kebetulan dikesampingkan, karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan
obyek secara utuh. Setiap obyek adalah kompleks, mengandung aspek dan profil
yang tiada terhingga.
Reduksi eiditas
menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria koherensi berlaku. Artinya,
pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap obyek harus dapat disatukan dalam
suatu horizon yang konsisten, setiap pengamatan memberi harapan akan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau selanjutnya.
Oleh karena itu
dalam reduksi eiditas, yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan
apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial itu. Caranya adalah melalui
reduksi eiditas, yakni menunda dalam tanda kurung, sifat-sifat yang
eksistensial dari obyek, perhatian kita sepenuhnya diarahkan pada esensinya,
eidosnya atau hakekatnya.[10]
c.
Reduksi Transedental
Di alam reduksi ini
yang ditempatkan diantara dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang
tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek
itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri. Reduksi ini
dengan sendirinya bukan lagi mengenai obyek. Reduksi ini merupakan pengarahan
ke subyek dan mengalami hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran, jadi
yang tinggal adalah kesadaran diri, tetapi bukan kesadaran empiris. Kesadaran
yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental.
Ketiga reduksi ini mempunyai hubungan yang koheren, yang dimulai dari
yang pertama, kemudian kedua selanjutnya yang ketiga. Reduksi ketiga tidak
diperoleh tanpa dimulai dari reduksi pertama. Dengan demikian reduksi berproses
secara dinamis dan linear, sehingga tidak ada loncatan reduksi.[11]
2. Intuisionisme
Aliran intuisi ini lahir sebagai
reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme, tokoh aliran ini
adalah Henri Bengson (1854-1941).
Dalam kamus ilmiah dinyatakan bahwa
intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan
pemahaman langsung: anggapan bahwa
kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari tuhan.[12]
Henri Bengson berpendapat bahwa
tidak hanya indra yang terbatas, tetapi akalpun demikian, objek-objek yang kita
tangkap itu selalu berubah.[13]
Dari pendapat diatas dapat dipahami
bahwa indra dan akal memiliki keterbatasan dalam memahami suatu objek . indra
dan akal dapat memahami suatu objek jika ia mengkonsentrasikan dirinya pada
objek tersebut.
Dengan menyadari keterbatasan indra
dan akal, Bengson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki
manusia, yaitu intuisi. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui
proses penalaran tertentu. Ini merupakan hasil evolusi pemahaman tertinggi dan
intuisi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
Bagi intuisinisme, terdapat adanya
suatu bentuk pengalaman lain (pengalaman bathiniah) disamping pengalaman yang
dihayati melalui indra. Tesa yang dikembangkan oleh faham ini ternyata memiliki
sisi yang memberatkan diantaranya lahirnya pengetahuan yang intuitif yang hanya
dapat dikomunikasikan melalui penerjemahan ke dalam simbol-simbol, sehingga
kita akan berbicara mengenai pengetahuan yang sifatnya subyektif.
Seseorang yang sedang terpusat
pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas
permalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku, tiba-tiba saja
dia sudah sampai pada sebuah kesimpulan. Jawaban atas permasalahan yang
dipikirkannya muncul dibenaknya atau intuisi ini bekerja dalam keadaan yang
tidak sepenuhnya sadar.
Suatu masalah yang sedang kita
pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul
di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang
itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana
caranya kita sampai disana.[14]
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Aliran fenomenologi adalah merupakan faham yang konsisten dalam pendiriannya untuk mengungkap kebenaran pengetahuan. Aliran fenomenologi menitik beratkan kepada gejala-gejala yang ada pada obyek yang diamati, kebenaran adalah hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan penampilan diri (fenomena) obyek tersebut. Namun Edmund Husserl berpandangan bahwa untuk memperoleh kebenaran haruslah digabung antara subyek dan obyek, semboyannya adalah zu denschen selbs (kembali pada benda-benda itu sendiri). Untuk menyatakan hakekat benda-benda digunakanlah metode reduksi, yaitu penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan intuisi dilakukan.
- Menurut intuisionisme, bukan hanya indra yang memiliki keterbatasan, tetapi akal pun juga demikian. Obyek-obyek yang kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah. Dengan menyadari keterbatasan indra dan akal, aliran intuisinisme mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini merupakan hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Dan intuisi tersebut menangkap obyek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal Filsafat
Manusia, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003
Bartends, K. Filsafat
Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981
Drijakara N. S.J.,
percikan Filsafat, Cet.V; Jakarta: PT. Pembangunan, 1989
Echols, Jhon M.
dan Hasan Shadily, kamus bahasa inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990
Nasution, Hasan
Bakti Filsafat Umum Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Partianto A. dan
M. Dahlan al Barry, kamul Ilmiah Populer, Surabaya: Arloka, t.th.
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, Cet.II ;Jakarta:kencana, 2005
Sudarsono, Ilmu
Filsafat, Jakarta: PT.Rineka Cipta,2001
Sumantri, Jujun S.
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.VI; Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990
Tafsir,Ahmad, Filsafat
Umum, Cet.IX ; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....