(Aplikasi Dalam Hadis)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an dan al-Hadis merupakan dua sumber pokok ajaran Islam yang
datang secara universal dan berangsur-angsur. Ajaran-ajaran keduanya sangat
erat kaitannya dengan kondisi dan situasi kemunculannya, sehingga dalam
memahami al-Qur’an dan al-Hadis membutuhkan pemahaman secara komprehensif.
Salah satu metode yang ditempuh dalam memahami keduanya adalah metode tematik.
Meskipun keduanya menjadi sumber utama ajaran Islam dan sama-sama
membutuhkan metode tematik dalam memahaminya, akan tetapi menurut penulis, yang
sangat perlu dapat perhatian dengan metode tematik ini adalah al-Hadis. Salah
satu alasannya karena al-Hadis tidak semuanya qath’i al-wurud (falid dari
Rasulullah).[1]
Oleh karena itu, dibutuhkan takhrij al-Hadis (pembuktian kefalidan) dan
pemahaman yamg mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan, baik secara
tekstual, interteks maupun kontekstual. Disamping itu, al-Hadis maudhu’i
berguna untuk memperoleh sebuah kesimpulan dan pemahaman yang komperehensif,
baik yang terkait dengan definisi, maksud dan hukum yang dikandungnya.
Untuk mengetahui aplikasi
metode maud}u>’i<, ditetapkanlah judul sebagai sarana penerapan metode
tersebut dalam masalah ini adalah gibah dimana banyak media atau alat yang
dapat menimbulkan permusuhan di kalangan manusia salah satunya adalah lidah,
sebab lidah dapat menguak hal-hal yang seharusnya ditutupi dan lidah pulalah
yang banyak menelorkan tabiat atau perangai yang tidak terpuji sehingga Nabi
sudah mewanti-wanti dengan bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى
الله عنه[2]
Terjamahannya: “Orang Islam
sejati adalah orang Islam yang mampu menjadikan orang lain aman dari lidah dan
tangannya”.
Gibah adalah
menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya sehingga ia merupakan
sifat yang tercela dan dilarang oleh agama berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Nabi[3]
karena mengandung bahaya besar, baik individu maupun masyarakat. Di antara
dampak negatif gibah pada individu adalah melukai hati seseorang sehingga dapat
menimbulkan permusuhan. Sementara dampak negatifnya untuk masyarakat adalah mengacaukan
hubungan kekeluargaan, persaudaraan dan kemasyarakatan serta menimbulkan saling
curiga-mencurigai.
Namun dalam
kehidupan masyarakat, banyak ditemukan model gibah akan tetapi dianggap oleh
masyarakat bukan sebagai gibah, sebaliknya menyebutkan aib seseorang dengan
tujuan yang baik namun masyarakat menganggap sebagai pencemaran nama baik
orang. Belum lagi gibah yang terkadang tidak bisa dipisahkan dan dibedakan
dengan buhtan (dusta), namimah (adu domba) dan al-ifk
(desas-desus) serta masih banyak lagi sifat-sifat yang hampir mirip dengan gibah,
bahkan terkadang istilah-istilah itu tertukar satu sama lain.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan
yang terdapat dalam latar belakang masalah, dapat ditarik beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
- Apa sebenarnya metode maudu>’i< dalam Hadis?
- Bagaimana aplikasi metode maudu>’i< dalam Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas
tentang Metode Maudhu'i
Secara
etimologi, kata maud{u>’i< yang terdiri dari huruf و
ض ع
berarti meletakkan sesuatu atau merendahkannya, sehingga kata maud{u>’i<
merupakan lawan kata dari al-raf’u (mengangkat).[4]
Mustafa Muslim berkata bahwa yang dimaksud maud{u>’i< adalah
meletakkan sesuatu pada suatu tempat sehingga yang dimaksud metode maud}u>’i<
adalah mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam al-Qur’an atau hadis-hadis
yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik tertentu atau tujuan tertentu kemudian disusun
sesuai dengan sebab-sebab munculnya dan pemahamannya dengan penjelasan,
pengkajian dan penafsiran dalam masalah tertentu tersebut.[5]
Menurut al-Farmawi, Metode maud}u>’i< adalah mengumpulkan hadis-hadis
yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan
asbab al-wurud dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan
dan penafsiran tentang masalah tertentu tersebut.[6]
Sedangkan Arifuddin Ahmad mengatakan bahwa metode Maud}u>’i> adalah
pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik
menyangkut aspek ontolgisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja
atau salah satu sub dari salah satu aspeknya”.[7]
Berdasarkan
penjelasan di atas, metode maud{u>’i< harus
memenuhi beberapa unsur yaitu:
-
Menentukan topik atau judul yang akan dikaji
-
Mengumpulkan
hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan
-
Melakukan
pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema
-
Memilih salah
satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang terkait
dengan tema.
Sedangkan
langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode maud{u>’i<
antara lain dapat dilakukan dengan:
1) Menentukan tema atau masalah yang akan
dibahas
2) Menghimpun atau mengumpulkan data
hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna
melalui kegiatan takhrij al-hadis
3) Melakukan kategorisasi berdasarkan
kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya
hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis.
4) Melakukan kegiatan i’tibar[8]
dengan melengkapi seluruh sanad
5) Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian
kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang
digunakan.
6) Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya
illat (cacat) dan syaz (kejanggalan).
7) Mempelajari term-term yang mengandung
arti serupa
8) Membandingkan berbagai syarah hadis
9) Melengkapi pembahasan dengan
hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
10) Menyusun hasil penelitian menurut
kerangka besar konsep.[9]
Langkah
nomor 4, 5 dan 6 dilakukan jika dibutuhkan karena hal itu mengetahui kualitas
hadis yang menjadi objek penelitian.
B. Aplikasi
Metode Maud{u>’i< dalam Aplikasi Hadis
1. Penetapan Judul dan Pengertian
Untuk mengetahui aplikasi maud{u>’i<, penulis
memilih tema tentang gibah (gunjingan) sebagai eksperimen dalam
penerapan metode maud{u>’i<
dalam bidang hadis.
2. Takhrij al-hadis
Dalam mencari dan menelusuri hadis-hadis yang terkait dengan gibah,
penulis menggunakan dua kitab yaitu Mu’jam Mufahras li Alfazh
al-Hadits dan Miftah Kunuz al-Sunnah.
- Mu’jam Mufahras li Alfazh al-Hadits
Dalam Mu’jam misalnya, penulis menelusuri akar kata غيب. Dari akar kata tersebut, penulis
menemukan dua kata yang mengarah pada makna gibah, satu dalam bentuk fi’il,
baik fi’il madhi atau fi’il mudhari’
yaitu إغتاب atau يغتاب (termasuk bentuk-bentuk kedua fi’il tersebut) dan satu dalam
bentuk masdarالغيبة. yaitu
Dalam bentuk إغتاب atau يغتاب ditemukan potongan hadis atau bab tentang gibah sebagai
berikut:
فإن كان
فيه ما تقول فقد اغتبته (م: بر70، ت: بر23، دى: رقاق6، حم:2 23, 384, 386, 458)
فقال النبي قد اغتبتها (حم: 6
137، 206) / هذه ريح الذين يغتابون
المؤمن (حم: 3 351) / لا تغتابوا
المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم (د: أدب35، حم: 4 421،
424) / ولا نغتب (صوابه نغتاب)... (حم 5 320)
/ باب ما يجوز من اغتياب أهل الفساد والريب (خ: أدب48)
Sedangkan dalam bentuk الغيبة ditemukan potongan hadis atau bab tentang gibah sebagai
berikut:
من ذب عن لحم أخيه بالغيبة
(حم: 6 **461)
/ أتدرون ما الغيبة (م: بر70) / قيل
يا رسول الله ما الغيبة (ت: بر23، دى: رقاق6، ط: كلام10، حم: 2 384،
386) / الغيبة للصائم (خ: أدب46، د: صوم25) / وما يعذبان إلا
فى البول والغيبة (حم: 5 36) /
الصوم جنة مالم يخرقها...(دى: صوم27) / باب ما جاء فى الغيبة (د: أدب35، جه:
صيام21، دى: رقاق6)
فى التشديد فى الغيبة (ت:
صوم16) / إنهما ليعذبان فى الغيبة.... (حم: 5 39)
/ فيعذب فى الغيبة (جه: طهارة26) / باب عذاب القبر من الغيبة (خ: جنائز88)[10]
- Miftah Kunuz al-Sunnah
Setelah mencari lafal gibah dalam kitab tersebut, penulis menemukan
pembahasan gibah dalam bab القذف dengan tulisan sebagai berikut:
·
حد
الغيبة : تر- ك25 ب 23، حم – ثان ص 384، 286، 458
·
لا
تدابروا ولا تباغضوا: حم –ثان ص 469، 482 ثالث ص 416، ط- ح 416[11]
Di samping itu, penulis mencari hadis-hadis yang terdapat dalam topik gibah
di beberapa kitab matan, sehingga terkadang matan hadisnya tidak
menggunakan lafal gibah dan segala isytiqaqnya akan tetapi
kandungannya terkait dengan permasalahan gibah.
3. Sanad, Matan dan Mukharrij
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa
orang) yang sampai kepada matan hadis,[12]
atau singkatnya sanad adalah jalur atau mata rantai kolektif yang menghubungkan
mukharrij dengan matan hadis. Matan adalah Kata-kata hadis yang dengannya
terbentuk makna-makna.[13] Dapat juga diartikan
sebagai sebagai apa yang berhenti dari sanad berupa perkataan,[14] sehingga matan hadis itu terdiri dari dua
elemen yaitu teks /lafal dan makna (konsep). Sedangkan mukharrij adalah perawi
yang memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain
lalu membukukannya dalam kitab.[15] Untuk
lebih jelasnya, yang dimaksud sanad di bawah ini adalah lafaz yang bergaris
bawah, matan adalah lafaz yang dicetak tebal sedangkan mukharrij adalah lafaz
yang terletak dalam tanda kurung.
1- حدثنا
يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر قالوا حدثنا إسمعيل عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك
بما يكره قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن
لم يكن فيه فقد بهته. (رواه مسلم والترمذى وأبو داود والدارمى)
Terjemahan: “Dari (حدثنا) Yahya ibn Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hajar menceritakan,
dari Ismail (حدثنا), dari al-‘Ala>’ dari ayahnya dari Abi Hurairah bahwa
Rasulullah saw. bertanya “Apakah kalian mengetahui apa itu gibah?” sahabat
menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu” Rasulullah saw. menjawab “Engkau
menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang dibenci” lalu dikatakan “(Bagaimana)
jika apa yang aku ceritakan itu kenyataan”?, Rasulullah saw. menjawab “Jika apa
yang engkau ceritakan itu kenyataan maka engkau telah meng-gibah-nya dan jika
hal itu tidak terbukti maka engkau telah menfitnahnya.[16]
2- حدثنا
وكيع عن سفيان عن علي بن الأقمر عن أبي حذيفة أن عائشة حكت
امرأة عند النبي صلى اللهم عليه وسلم ذكرت قصرها فقال النبي صلى اللهم عليه وسلم
قد اغتبتيها (رواه أحمد)
Terjemahan:
“dari Waki’ dari Sufyan dari Ali ibn al-Aqmar dari Abi Huzaifah bahwa Aisyah menceritakan
seorang perempuan dihadapan Nabi saw. bahwa perempuan itu pendek lalu Nabi saw.
bersabda “Engkau telah menggibahnya”. [17]
3- حدثنا
عثمان بن أبي شيبة حدثنا الأسود بن عامر حدثنا أبو بكر بن عياش عن الأعمش عن سعيد
بن عبد الله بن جريج عن أبي برزة الأسلمي قال قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين
ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته
يفضحه في بيته. (رواه أبو داود وأحمد)
Terjemahan: “Dari Usman ibn Abi Syaibah dari al-Aswad ibn ‘Amir
dari Abu Bakar ibn Iyasy dari al-A’masy dari Said ibn Abdillah ibn Juraij dari
Abi Barzakh al-Aslami berkata, Rasulullah saw. bersabda “Wahai golongan orang
yang menjaga lidahnya dan iman belum masuk ke dalam hatinya”Janganlah kalian
menggibah (menggunjing) orang-orang Islam dan mencari-cari aib dan kesalahannya
karena barang siapa mencari-cari kesalahan mereka, Allah akan mencari-cari
kesalahanya pula dan barang siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah,
maka Allah akan membuka aibnya di rumahnya”. [18]
4- حدثنا
أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع حدثنا الأسود بن شيبان حدثني بحر بن مرار عن جده
أبي بكرة قال مر النبي صلى اللهم عليه وسلم بقبرين فقال إنهما
ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فيعذب في البول وأما الآخر فيعذب في الغيبة.
(رواه إبن ماجه)
Terjemahan: dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Waki’ dari
al-Aswad ibn Syaiban dari Bahr ibn Mirar dari Kakeknya Abi Bakrah berkata,
Rasulullah saw. lewat di depan dua kuburan seraya berkata “Kedua penghuni
kuburan itu akan disiksa dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah satu
diantara mereka disiksa karena kencing sedangkan yang satu lagi disiksa karena
masalah gibah”. [19]
5- أخبرنا
عمرو بن عون حدثنا خالد بن عبد الله عن واصل مولى أبي عيينة عن بشار بن أبي سيف عن
الوليد بن عبد الرحمن عن عياض بن غطيف عن أبي عبيدة بن الجراح قال سمعت
رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يقول الصوم جنة ما لم يخرقها قال أبو محمد يعني
بالغيبة. (رواه الدارمى)
Terjemahan: dari ‘Amar ibn ‘Aun dari Khalid ibn Abdillah dari
Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Basyar ibn Abi Saif dari al-Walid ibn Abi
Rahman dari ‘Iyad ibn Gutaif dari Abi ‘Ubaidah ibn al-Jarrah, Rasulullah saw.
bersabda “Puasa itu taming sepanjang tidak dibakarnya. Abu Muhammad
menambahkannya “dengan gibah”. [20]
6- حدثنا
عارم حدثنا عبد الله بن المبارك عن عبيد الله بن أبي زياد عن شهر بن حوشب عن أسماء
بنت يزيد
عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله
أن يعتقه من النار. (رواه أحمد)[21]
Terjemahan:
“Dari Arim dari Abdullah ibn al-Mubarak dari Ubaidillah ibn Abi Ziyad dari
Syahr ibn Hausyab dari Asma’ binti Yazid dari Rasulullah saw bersabda “Barang
siapa yang tidak mau (menolak) menggibah saudaranya pada waktu tidak ada, maka
kewajiban Allah membebaskannya dari api neraka”.
7- حدثنا
عبد الصمد حدثني أبي حدثنا واصل مولى أبي عيينة حدثني خالد بن عرفطة عن طلحة بن
نافع عن جابر بن عبد الله قال كنا مع النبي صلى اللهم عليه وسلم فارتفعت ريح جيفة
منتنة
فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم أتدرون ما هذه الريح هذه ريح الذين يغتابون
المؤمنين. (رواه أحمد)
Terjemahan:
dari Abd Samad dari Ayahnya dari Wasil (bekas budak) Abi ‘Uyainah dari Khalid
ibn Arfatah dari Talhah ibn Nafi’ dari Jabir ibn Abdillah berkata “kami bersama
Nabi saw. lalu tercium bau bangkai yang sangat menyangat, lalu Rasulullah saw.
bertanya “Apakah kalian mengetahui bau apa itu? Ini adalah baunya orang-orang
yang menggibah orang-orang mukmin”. [22]
8- حدثنا
ابن المصفى حدثنا بقية وأبو المغيرة قالا حدثنا صفوان قال حدثني راشد بن سعد وعبد
الرحمن بن جبير عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا
جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم. (رواه أبو داود)[23]
Terjemahan:
dari ibn al-Mustafa dari Baqiyah dan Abu al-Mugirah dari Safwan dari Rasyid ibn
Sa’ad dan Abd Rahman ibn Jabir dari Anas ibn Malik berkata, Rasulullah saw.
berkata “Tatkala saya dimi’rajkan, saya melewati kaum yang memiliki kuku dari
besi yang digunakan mencakar wajah dan dada mereka, lalu berkata “siapa mereka
wahai Jibril? Lalu Jibril menjawab “Mereka itu orang-orang yang memakan daging
manusia dan merusak harga diri mereka”.
9- حدثنا محمد بن جعفر بن أعين نا يحيى بن أيوب المقابري ثنا أسباط
بن محمد عن أبي رجاء الخرساني عن عباد بن كثير عن سعيد الجريري عن أبي نضرة عن جابر
بن عبد الله وأبي سعيد الخدري قالا: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الغيبة أشد من الزنا، قيل: وكيف؟
قال: "الرجل يزني ثم يتوب فيتوب الله عليه وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر
له صاحبه." (رواه الطبرانى)
Terjemahan:
dari Muhammad ibn Ja’far ibn A’yun dari Yahya ibn Ayyub al-Maqabiri dari Asbat
ibn Muhammad dari Abi Raja’ al-Khurasani dari Ubbad ibn Kasir dari Said
al-Jariri dari Abi Nadrah dari Jabir ibn Abdillah dan Abi Said al-Khudri
berkata, Rasulullah saw. bersabda “gibah itu lebih parah dari pada zina, lalu
dikatakan, kenapa bisa demikian? Rasulullah saw. bersabda “Seorang laki-laki
berzina kemudian bertaubat lalu Allah member taubat dan sesungguhnya orang yang
menggibah tidak akan diampuni sehingga orang yang digibah memaafkannya”. [24]
4. Kritik
Sanad dan Matan
a. Kritik
Sanad (hadis pertama)
1) Abu
Hurairah adalah
salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah
saw. Mengenai nama aslinya dan nama ayahnya, para sejarawan beragam komentar,
akan tetapi paling masyahur adalah Abd
Rahmad ibn Sakhr. Dialah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Menurut Baqi bin Mukhallad sebanyak 5374 buah hadis yang dia riwayatkan dari
sekitar 800 sahabat, bahkan al-Bukhari meriwayatkan sekitar 93 hadis darinya
sementara Imam Muslim meriwayatkan sekitar 189 hadis darinya.[25]
Wafat pada tahun 58 H. ada juga yang berpendapat tahun 57 atau 59 H.
Guru-gurunya adalah Rasulullah saw., Abu Bakar,
Umar ibn al-Khattab, Ali ibn Abi Talib, Aisyah, Ubai ibn Ka’ab, dll. Sedangkan murid-muridnya
adalah Said ibn al-Musayyib, Abd Rahman al-A’raj, Ikrimah, Nafi’, Abd Rahman
ibn Ya’qub, dll.[26]
Jika
melihat Rasulullah dan Abu Hurairah maka sudah bisa dipastikan bahwa keduanya
bertemu karena Abu Hurairah termasuh sahabat Nabi yang dekat denganya.
2) Abih, yang dimaksud adalah ayah
al-‘Ala>’ yaitu Abd Rahman ibn Ya’qub al-Juhni al-Madani Maula al-Hirqah.
Tanggal wafatnya tidak ditemukan oleh penulis dalam kitab-kitab tarikh.
Guru-gurunya
adalah Ayah Ya’qub, Abu Hurairah, Abu Said, Ibn Abbas, Ibn Umar, dll.
Sedangkan murid-muridnya adalah anaknya al-‘Ala>, Muhammad ibn
Ibrahim al-Taimi, Muhammad ibn Ajlan, Salim Abu al-Nad}r, dll.[27]
Al-Nasai
berkata “laisa bihi ba’s”, Abu Hatim berkata bahwa “al-Musayyib dan Abd
Rahman sama-sama s|iqah dan Ibn Hibban menggolongkan dia s|iqah.[28]
Penulis
kesulitan melacak apakah Abu Hurairah bertemu dengan Abd Rahman karena penulis
belum menemukan tahun wafatnya akan tetapi kitab-kitab sejarah menulis bahwa
keduanya masih semasa dan pernah bertemu.
3) Al’Ala>’ bernama lengkap al-‘Ala>’
ibn Abd Rahman ibn Ya’qub al-Haraqi>. Al-Bukhari berkata wafat pada tahun
132 H. Menurut Ibn al-As|ir tahun 139 H.
Gurunya
antara lain adalah ayahnya Abd Rahman ibn Ya’qub, Ibn Umar, Anas ibn
Malik, Abbas ibn Sahal, Salim ibn Abdullah ibn Umar, dll. Sedangkan muridnya
antara lain adalah Ibn Juraij, Ubaidillah ibn Umar, Muhammad ibn Ajlan, Ismail
ibn Ja’far ibn Kasir. Dll.
Abu
Zur’ah berkata “Dia tidak lebih kuat”, Abu Hatim berkata “orang-orang s|iqah
meriwayatkan dari dia”, al-Nasai “laisa bih ba’s”, Ibn Hibban menggolongkannya
dalam golongan s|iqah, dan al-Turmuzi berkata “al-‘Ala>’ itu s|iqah menurut
ahli hadis“.[29]
Ada
kemungkinan periwayatan terjadi antara Abd Rahman dan putranya al-‘Ala karena
keduanya ayah-anak.
4) Ismail bernama lengkap Abu Ishaq, Ismail
ibn Ja’far ibn Abi Kasir al-Ans}a>ri> al-Zarqi>. Wafat pada tahun 180
H. di Bagdad. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa wafatnya tahun 181 H.[30]
Gurunya
antara lain adalah Abdullah ibn Dinar, Humaid al-T{awi>l, al-‘Ala>’
ibn Abd Rahman, Malik ibn Anas, dll. Sedangkan muridnya antara lain Yahya
ibn Yahya ibn al-Naisaburi>, Suraij ibn al-Nu’man, Yahya ibn Ayyub
al-Maqabiri, Qut}aibah ibn Sa’i>d, ‘A<li ibn Hajar, dll.
Ahmad
ibn Hambal, Abu Zur’ah dan al-Nasa>i< berkata “Dia s|iqah”, Yahya ibn
Ma’i>n “Dia s|iqah”, Muhammad ibn Sa’ad “Dia s|iqah”.[31]
Sedangkan
jarak antara al-‘Ala>’ (w. 132 H.) dan Ismail (w. 180 H.) menunjukkan jarak
yang lumayan jauh yaitu 48 tahun sehingga memungkin tidak bertemu akan tetapi
kitab-kitab sejarah menunjukkan hubungan guru-murid antara keduanya terjadi.
5) Ibn Hajar bernama lengkap Abu al-Hasan Ali ibn Hajar ibn
Iya>s ibn Muqa>til ibn Mukha>disy al-Sa’di>. Dilahirkan pada tahun
154 H. dan wafat pada hari rabu pertengahan bulan Jumadil Ula tahun 244 H.[32]
Gurunya
diantara lain adalah Isa ibn Yunus, Ibn al-Mubaarak, al-Walid ibn Muslim, Ismail
ibn Ja’far, dll. Sedangkan muridnya antara lain adalah al-Bukhari, Muslim,
al-Turmuzi, al-Nasai, Ahmad ibn Hambal, dll.
Qutaibah
bernama Abu
Raja’ al-Bagla>ni>, Qutaibah ibn Sa’id ibn Jami>l ibn T{ari>f ibn
Abdillah al-S|aqafi>. Dia termasuk orang yang dipercaya dalam bidang hadis
dan dalam bidang sunnah. Lahir pada tahun 150 H. dan wafat pada tahun 240 H.[33]
Gurunya
diantaranya Ismail ibn Ja’far, Ayyub ibn al-Najja>r
al-Yama>mi>, Hamma>d ibn Kha<lid, Abdullah ibn Wahab, Abd Salam ibn
Harb, Waki’ ibn al-Jarra>h. sedangkan muridnya adalah al-Bukhari, Muslim,
al-Turmuzi, Ahmad ibn Hambal, Abu Daud, al-Da>rimi>, dll.
Abu
Hatim berkata “Dia s|iqah”, Yahya ibn Ma’in dan al-Nasai berkata “dia s|iqah”,
al-Nasai menambahkan kata s}adu>q.[34]
Yahya
ibn Ayyub bernama
lengkap Abu> Zakariya> Yahya ibn Ayyub al-Maqa>biri> al-Bagda>di>.
Lahir pada tahun 157 H. Wafat pada hari Ahad 12 Rabiul Awal 234 H di Bagdad.
Menurut yang lain tahun 233 H.[35]
Guru-gurunya
antara lain adalah Abu Ismail Ibrahim ibn Sulaiman, Ismail ibn Ja’far
al-Madani>, Syu’aib ibn harb, Abdullah ibn al-Mubarak, dll. Sedangkan murid-muridnya
adalah Imam al-Bukhari Muslim, al-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad ibn Hambal,
dll.
Ali
ibn al-Madini dan Abu Hatim berkata “Yahya itu S}adu>q”, sedangkan Ibn
Habban memasukkannya dalam golongan al-S|iqa>t.[36]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari para perawi hadis
tersebut, dapat dipastikan bahwa semua perawinya s|iqah sehingga sanadnya
shahih. Jika dilihat dari madar al-hadis bahwa hadis ini pada awalnya
berada di Madinah mulai dari Abu Hurairah, Abd Rahman, al-‘Ala>’, Ismail,
lalu kemudian dibawah ke Hamas oleh Qutaibah dan ke Bagdad oleh Ibn Hajar dan
Yahya ibn Ayyub kemudian di bukukan oleh imam Muslim, sehingga dapat dipastikan
hadis tersebut tidak banyak mengalami perubahan lafaz atau penambahan dan
sejenisnya.
- Kritik Matan (hadis pertama)
1) Aspek
pertentangan dengan al-Qur’an
Jika
dilihat dari kandungan hadis tersebut, maka hal itu tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, bahkan hadis tersebut sejalan dengan ayat al-Qur’an QS: al-Hujurat:
12.
ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل
لحم أخيه ميتا فكرهتموه
Artinya: “…Dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya…”.
2) Aspek pertentangan dengan hadis shahih
Jika dilihat dari hadis-hadis shahih, maka hadis
tersebut tidak bertentang dengan hadis-hadis shahih seperti hadis-hadis yang
akan diuraikan.
3) Aspek linguistik matan
a) Hadis riwayat Muslim
-
قال: "أتدرون ما الغيبة" - قالوا الله ورسوله أعلم.
-
قال "ذكرك أخاك بما يكره" - قيل أفرأيت إن كان فى أخى ما أقول
-
قال: "إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد
بهته"
b) Hadis riwayat Abi Daud
-
قيل: يارسول الله ما الغيبة ؟ - قال: "ذكرك أخاك بما يكره"
-
قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ - قال:
"إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته"
c) Hadis riwayat al-Turmuzi
-
قيل يا رسول الله ما الغيبة؟ - قال ذكرك أخاك بما يكره
-
قال أرأيت إن كان فيه ما أقول؟ -قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول فقد
بهته
d) Hadis riwayat al-Darimi
-
انه قيل له ما الغيبة - قال ذكرك أخاك بما يكره
-
قيل وان كان في أخي ما أقول - قال فإن كان فيه فقد اغتبته وان لم يكن فيه فقد بهته
e) Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal
(1) Sanad pertama
-
هل تدرون ما الغيابة ؟ - قالوا: الله ورسوله
أعلم،
-
قال: ذكرك أخاك بما ليس فيه، -
قال: أرأيت إن كان في أخي ما أقول له ؟ يعني،
-
قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول
فقد بهته.
(2) Sanad kedua
-
أنه قيل له: ما الغيبة ؟ يا رسول الله - قال: ذكرك أخاك بما يكره
-
قال: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ أي رسول الله،
-
قال: إن كان في أخيك ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه ما تقول
فقد بهته.
(3) Sanad ketiga
-
قال رسول الله ص م: هل تدرون ما الغيابة؟ - قال: قالوا: الله ورسوله أعلم،
-
قال: ذكرك أخاك بما ليس فيه - قال: أرأيت إن كان في أخي ما أقول له؟
-
قال: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته ، وإن لم يكن فيه ما تقول
فقد بهته.
Tidak adanya perbedaan signifikan antara riwayat Shahih Muslim dengan
riwayat-riwayat lain maka dipastikan bahwa hadis tersebut riwayat bi
al-lafzi.
Oleh karena kesimpulan dari kritik sanad dan matan pada hadis tersebut
dapat disimpulkan bahwa hadisnya Shahih.
5. I’tibar
6. Kualitas /Kedudukan Hadis
- Hadis kedua ini shahih karena para perawinya tsiqah. Sedangkan matan hadis ini tidak ada masalah karena tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis shahih.
- Hadis ketiga di atas dapat dipertanggungjawabkan meskipun ada sebagian ulama yang memberi catatan kepada sebagian perawinya yaitu Abu Bakar bin ‘Ayyasy. Namun Syekh al-Albani menilai hadis ini shahih. Terlebih lagi hadis tersebut didukung oleh syahid dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh al-Turmuzi secara makna. Sedangkan matannya tidak bertentang dengan al-Qur’an maupun hadis shahih.[37]
- Hadis keempat dari segi sanadnya shahih, karena semua perawinya tsiqah. Namun dari segi matan hadis tersebut dapat digolongkan syaz karena sebenarnya hadis tersebut menggunakan kata namimah bukah al-gibah. Namun Syekh al-Albani menganggapnya shahih sehingga dapat dikategorikan hadis ini termasuk riwayat bi al-ma’na.
- Hadis kelima tersebut hanya mencapai tingkat hasan karena sebagian perawinya hanya mencapai tingkat مقبول saja yaitu ‘Iyadh bin Ghuthaif dan Bassyar bin Abi al-Saif, sedangkan Washil hanya mencapai tingkat صدوق dan hal itu sejalan dengan pendapat Husain Salim Asad. Sedangkan ditinjau dari matan, menurut al-Albani, jika hanya sampai pada kata “junnah“ maka hal itu shahih, namun jika ditambah kata (ما لم يخرقها) maka hadis itu dhaif dan jika sampai pada kalimat (بالغيبة) maka hadis sangat lemah. Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa kata al-gibah hanyalah tambahan imam al-Darimi. Sehingga kesimpulannya hadis tersebut daif.[38]
- Hadis keenam ditinjau dari sanadnya shahih karena perawi-perawinya tidak dipermasalahkan oleh kritikus hadis kecuali Syahr bin Hausyab yang dianggap matruk oleh Syu’bah bin al-Hajjaj, sedangkan yang lain menilainya baik. Sementara Ubaidillah bin Ziyad kurang dianggap kuat. Tapi secara umum hadisnya tergolong hasan. bahkan al-Albani menganggap hadis tersebut shahih li gairih.[39]
- Hadis ketujuh ini hanya ditemukan dalam Musnad Ahmad, sedangkan perawinya ada yang mencapai derajat مقبول yaitu Khalid bin ‘Urfuthah, sementara yang berada di tingkat صدوق adalah Thalhah bin Nafi’ dan Washil. Dari keterangan ini, hadis tersebut masuk kategori hasan. Menurut al-Albani, hadis tersebut Hasan li gairih.
- Hadis kedelapan, semua perawi hadis di atas dapat dipertanggungjawabkan meskipun ada yang hanya mencapai tingkat صدوق yaitu Ibnu al-Mushaffa dan Baqiyyah bin al-Walid. Walau demikian hadisnya tidak berarti dhaif tetapi masuk dalam status hasan, bahkan menurut al-Albani, hadis itu shahih, dan kadang Shahih li gairih.[40] Sedangkan matan hadis tersebut tidak bisa dinilai dari segi rasionalitas karena kandunganya berupa informasi ukhrawi.
- Hadis kesembilan dinilai dhaif karena Ubad bin Katsir termasuk perawi matruk. Sehingga berimplikasi pada matan hadisnya juga dhaif.
7. Klasifikasi Hadis
a. Pengertian gibah
Kata الغيبة berasal dari akar kata غ –
ي –ب yang dalam kitab Maqayis
al-Lughah diartikan sebagai “sesuatu yang tertutup dari pandangan”[41]
sehingga yang dimaksud dengan الغيب dalam al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak bisa dipanca indra
atau sesuatu yang hanya diketehui oleh Allah swt.
Sedangkan dalam istilah syar’i, ulama memberikan ragam definisi. Di
antaranya adalah:
-
Imam al-Raghib mengatakan
bahwa gibah adalah “Seseorang menceritakan aib orang lain tanpa ada keperluan”.[42]
-
Menurut Imam al-Ghazaly, gibah
adalah “menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya andaikan
hal itu sampai padanya”.[43]
-
Imam Nawawi
mendefinisikannya dengan “Menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan
sesuatu yang tidak disukainya”.[44]
Dan beberapa definisi lain.
Definisi yang diberikan para ulama meskipun beragam, semuanya berdasarkan
hadis Rasulullah:
...أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك
أخاك بما يكره قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته
وإن لم يكن فيه فقد بهته[45]
Namun mereka
berbeda dalam memahami kandungan hadis tersebut. Hal itu terjadi karena teks
hadisnya masih sangat umum, khususnya yang terkait dengan dua kata
yaitu:
ذكرك
أخاك
dan بما يكره
Ulama dalam menjelaskan kata ذكرك
أخاك terbagi dalam dua kelompok. Sebagian
mereka tetap memberlakukan keumuman teks hadis tersebut sehingga menimbulkan
pengertian bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu adalah menceritakan seseorang,
baik dia ada di tempat maupun tidak. Namun mayoritas ulama hadis, khususnya yang
mendalami lughah (bahasa) mengatakan bahwa maksud teks itu hanya
ditujukan kepada orang yang ghaib (tidak ada di tempat). Hal itu berdasarkan akar
kata الغيبة
yang berarti tidak hadir.[46]
Di samping itu kata ذكرك
أخاك juga dapat dipahami bahwa gibah
hanya berlaku kepada sesama muslim karena yang digunakan adalah الأخ (saudara
seagama) sehingga Imam ‘Iyadh mengatakan bahwa gibah tidak terjadi kepada orang
kafir. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa gibah tidak hanya berlaku untuk
orang Islam semata melainkan juga orang kafir akan tetapi dengan catatan bahwa gibah
itu terkait dengan dirinya bukan agamanya. Argumen yang diajukan ulama yang
mengatakan bahwa gibah berlaku umum adalah hadis yang menggunakan teks المرء (bukan
الأخ) sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis Muwattha’
Malik.[47]
Sedangkan kata بما
يكره
tidak memberikan batasan apa saja yang masuk kategori sesuatu yang tidak
disukai. Walaupun demikian, mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan بما يكره adalah kekurangan seseorang baik
yang terkait dengan fisik, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta, anak, orang tua,
istri, pembantu, pakaian, cara jalan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada
kekurangan dan perendahan. Dan dalam hadis ini juga tidak menyebutkan bagaimana
bentuk gibah itu, apakah hanya melalui mulut atau boleh dengan yang lain,
sehingga sebagian besar ulama memberkakukan bahwa gibah bisa terjadi dengan
ungkapan, tulisan, simbol, kode, isyarah dan hikayat.[48]
Meskipun ulama memberikan berbagai pandangan tentang gibah,
penulis sendiri cenderung membatasi gibah pada arti “Menceritakan seseorang pada
saat dia tidak ada dengan sesuatu yang
tidak disukai tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat”. Pemahaman tersebut di atas, disamping
berdasarkan teks hadis tersebut, juga hadis-hadis Rasulullah sebagai
berikut:
1-
...أن عائشة حكت امرأة عند النبي صلى اللهم عليه وسلم ذكرت قصرها
فقال النبي صلى اللهم عليه وسلم قد اغتبتيها[49]
2-
...ان رجلا سأل رسول الله
صلى الله عليه وسلم ما الغيبة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان تذكر من المرء ما يكره ان يسمع قال يا رسول
الله وإن كان حقا قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم إذا قلت باطلا فذلك البهتان[50]
3-
....فلما حللت ذكرت له أن معاوية بن أبي سفيان وأبا جهم خطباني
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية
فصعلوك لا مال له انكحي أسامة بن زيد فكرهته ثم قال انكحي أسامة فنكحته فجعل الله
فيه خيرا واغتبطت[51]
Dari ketiga hadis diatas, dapat dipahami pengertian dan
cakupan gibah dalam persfektif hadis. Hadis pertama misalnya menjadi penjelas
tentang cakupan gibah yang antara lain terkait dengan fisik. Sementara hadis
kedua menjelaskan bahwa gibah terjadi ketika orang tersebut tidak ada. Hal itu
dapat dipahami dari kata ما
يكره أن يسمع (tidak senang jika didengar) sedangkan hadis
ketiga menjadi alasan/argumen bahwa yang termasuk gibah jika tidak ada tujuan
yang diperbolehkan syara’ seperti hadis tersebut yang menjelaskan tentang nasihat
Rasulullah kepada Fathimah binti Qais yang dilamar oleh Abu Jaham dan Mu’awiyah
dengan menyebutkan kekurangan mereka masing-masing.
b. Batasan-batasan gibah
Berdasarkan pengertian di atas bahwa gibah jika ada
tujuan yang diperbolehkan syara’ maka hal itu boleh saja dan tidak tergolong gibah
yang dilarang oleh agama. Di antara tujuan-tujuan yang diperbolehkan itu adalah:
1) Melaporkan penganiayaan
Seorang yang dianiaya, berhak melaporkan penganiayaan
terhadap aparat yang berwenang, baik presiden, hakim atau siapa saja yang
memiliki wewenang untuk menangani kasus tersebut. Sebagaimana kasus yang
terjadi pada masa Rasulullah:
...أن رجلا أتى
النبي صلى الله عليه وسلم يتقاضاه فأغلظ فهم به أصحابه فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم دعوه فإن لصاحب الحق مقالا ثم قال أعطوه سنا مثل سنه قالوا يا رسول الله إلا أمثل
من سنه فقال أعطوه فإن من خيركم أحسنكم قضاء.[52]
2) Minta tolong untuk merubah kemunkaran
Menggunjing diperbolehkan pula diwaktu meminta
pertolongan agar sebuah kemunkaran dapat diubah atau agar seorang yang
melakukan maksiat atau kesalahan itu dapat diarahkan ke jalan yang baik
kembali.
3) Meminta fatwa
Meminta fatwa atau penerangan hukum agama adalah salah
satu hal yang membolehkan melakukan gibah sebab hal itu pernah terjadi pada
masa Rasulullah ketika seorang wanita yaitu Hindun bin Uthbah menghadap
Rasulullah dan melaporkan kekikiran suaminya, Abu Sufyan. Lalu Rasulullah memberinya
solusi pemecahan masalahnya dengan mengatakan:
عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل
شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم فقال خذي ما يكفيك وولدك
بالمعروف.[53]
4) Mengingatkan penipuan atau
menakut-nakuti
Menceritakan kelakuan tidak baik atau trik penipuan
seseorang kepada orang lain agar waspada terhadap orang tersebut atau menjauhi
agar terhindar dari kejahatannya atau menakut-nakuti orang lain dengan
menceritakan kejelekan dan bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan orang
tersebut. Semisal para perawi hadis atau ada seorang pedagang yang melakukan
penipuan kemudian diceritakan kepada orang lain yang ingin bertransaksi
dengannya untuk waspada atau menghindarinya. Atau ada seorang wanita yang ingin
menikah dengan orang yang tidak baik kemudian diceritakan kejelekannya supaya
terhindar darinya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. dalam salah satu
hadis yang telah disebutkan di atas yakni:
...أما أبو جهم فلا
يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له انكحي أسامة بن زيد فكرهته ثم قال
انكحي أسامة فنكحته فجعل الله فيه خيرا واغتبطت.
5) Menanyakan seseorang yang lebih dikenal dengan gelarnya.
Menggunjing dengan menyebutkan gelar (negatif) yang
lebih dikenal dari pada namanya sendiri itu diperbolehkan dan hal itu banyak
terjadi dalam kalangan ulama-ulama besar Islam semisal al-A’masy, al-A’ma,
al-A’raj dan gelar-gelar yang menjurus negatif akan tetapi tujuan
menyebutkan hanya sebatas pengenalan bukan atas dasar menjatuhkan atau mencela.
Jika bukan tujuan di atas, maka menyebutkan sifat atau gelar mereka termasuk gibah
yang dilarang oleh syara’
6) Menceritakan orang yang sudah dikenal jahat
Seorang yang terang-terangan melakukan kefasikan bahkan
bangga dengan perbuatannya itu dapat diceritakan perbuatannya kepada orang
lain. Semisal pemabuk, penodong dan sebagainya.[54]
c. Hukum Gibah
Jika melihat hadis-hadis yang berbicara tentang gibah, dapat dipahami
bahwa gibah adalah sesuatu yang dilarang oleh agama, baik al-Qur’an maupun
hadis. Al-Qur’an misalnya menggambarkan pelaku gibah itu bagaikan orang yang
makan daging saudaranya dalam keadaan mati.[55]
Artinya status hukum gibah sama halnya dengan makan bangkai karena orang yang dimakan
bangkainya tidak merasakan apa-apa sama dengan orang yang digibah tidak
merasakan apa-apa, padahal harga diri seseorang itu bagaikan dagingnya.[56]
Sedangkan hadis-hadis yang melarang gibah disamping hadis-hadis yang telah disebutkan di
atas, juga hadis berikut:
قال
رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا
تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته...[57]
Dengan memperhatikan ayat dan
hadis-hadis yang telah dipaparkan, dapat dipahami bahwa gibah merupakan sesuatu
yang diharamkan. Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang apakah gibah masuk
dosa besar atau hanyalah dosa kecil. Sebagian ulama berpendapat bahwa gibah
tergolong dosa besar sementara ulama yang lain mengatakan bahwa gibah jika
dilakukan oleh orang-orang yang tidak menuntut ilmu atau pengkaji al-Qur’an
(masyarakat biasa) maka hanya masuk dalam kategori dosa kecil.[58]
Akan tetapi jika melihat hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya: وما
يعذبان في كبير أما أحدهما فيعذب في البول
وأما الآخر فيعذب في الغيبة maka gibah tergolong dosa kecil
saja, bukan dosa besar namun siksaan bagi pelakunya tetap pedih.
Walaupun demikian, dalam pandangan
penulis, hal terpenting dari gibah bukan terletak pada dosa besar atau dosa
kecilnya akan tetapi gibah merupakan tindakan yang dikecam, baik oleh
al-Qur’an, al-Hadis maupun oleh manusia itu sendiri dan merupakan sifat yang
harus dihaindari oleh setiap manusia, khususnya umat Islam tanpa memandang apakah
orang terpelajar, intelektual atau masyarakat biasa, sebab dampak dari gibah
dapat diarasakan dan dialami oleh siapa saja. Dan siapapun pelakunya akan
mendapatkan dosa dan hukuman di sisi Allah swt, sedangkan besar-kecilnya dosa
itu adalah wewenang mutlak Allah swt.
d. Sanksi Gibah
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa gibah dapat merusak
kehormatan orang lain dan dapat memicu perpecahan dan perselisihan di
tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, sanksi bagi para pelaku gibah yang
dipaparkan oleh hadis-hadis Rasulullah saw. sebagai berikut:
1.
Mendapatkan siksaan kubur.
...
مر النبي صلى اللهم عليه وسلم بقبرين فقال إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما
أحدهما فيعذب في البول وأما الآخر فيعذب في الغيبة[59]
Hadis di atas menjelaskan bahwa
Rasulullah mendengarkan siksaan dari dalam dua kubur yang salah satunya disiksa
karena dosa gibah.
2.
Menjerumuskan
ke dalam api neraka
...
عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال من ذب عن لحم أخيه بالغيبة كان حقا على الله أن
يعتقه من النار[60]
Sebenarnya dalam hadis di atas,
tidak dijelaskan bahwa orang yang melakukan gibah akan dimasukkan ke dalam api
neraka, akan tetapi dapat dipahami secara terbalik (mafhum mukhalafah)
bahwa orang yang menghalau atau menghindari perilaku gibah maka Allah akan
menyelamatkannya dari api neraka berarti orang yang melakukan gibah tidak akan
diselamatkan dari api neraka.
3.
Mengeluarkan
bau busuk di hari kiamat.
...
فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم أتدرون ما هذه الريح هذه ريح الذين يغتابون
المؤمنين[61]
Salah satu sanksi yang akan diterima
oleh pelaku gibah di hari kiamat nanti adalah dia akan mengeluarkan bau bangkai
busuk sebagaimana dia suka memakan bangkai pada saat masih hidup.
4.
Menyiksa
diri sendiri.
...
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون
وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون
في أعراضهم[62]
Di antara siksaan atau sanksi yang
akan diperoleh oleh orang yang melakukan gibah adalah dia akan diberi kuku dari
besi kemudian melukai, mencakar dan mencabik-cabik muka dan dada mereka
sendiri.
Sebenarnya masih ada sanksi bagi
para pelaku gibah, khususnya gibah yang dilakukan oleh orang puasa dapat
berdampak pada pahala puasa dimana gibah akan menghabiskan pahalanya, sehingga
dalam hadis dikatakan bahwa puasa digambarkan bagaikan bunga atau perlindungan
yang sewaktu-waktu dapat dirusak atau dibakar oleh hama gibah. Namun hadis di
atas tidak dapat dijadikan hujjah karena mayoritas ulama menilainya lemah.
عن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم يقول الصوم
جنة ما لم يخرقها قال أبو محمد يعني بالغيبة[63]
Dan masih banyak sanksi yang
ditemukan dalam buku-buku tentang gibah, bahkan dalam ensiklopedi Islam ditemukan
sebuah hadis yang menunjukkan betapa gibah lebih berbahaya daripada zina karena
pelaku zina dapat bertaubat langsung kepada Allah sementara pelaku gibah harus
meminta maaf kepada orang yang digibah sebelum meminta ampun kepada Allah swt. akan
tetapi penulis menemukan hadis tersebut dhaif karena salah satu perawinya
adalah matruk atau dhaif yaitu ‘Ubad bin Katsir.
... قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : الغيبة أشد من الزنا. قيل: وكيف؟ قال: "الرجل يزني ثم يتوب، فيتوب
الله عليه، وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه"[64]
Oleh karena itu, penulis tidak menjadikan kedua hadis di atas
sebagai pembahasan inti dalam makalah ini, akan tetapi diletakkan dalam
pembahasan akhir sebagai penutup dan bahan pertimbangan dengan alasan keduanya
tidak dapat dipertanggungjawabkan kehujjahannya. Meskipun demikian, penulis
tetap mencantumkannya sebagai bahan informasi sekaligus mengakomidir perbedaan
ulama dalam menilai kedua hadis
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat
ditarik beberapa kesimpulan terkait dengan makalah ini sebagai berikut:
1. Metode
Maud}u>’i>
adalah pensyarahan atau pengkajian hadis
berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontolgisnya maupun
aspek epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu
aspeknya.
2.
Aplikasi hadis
maud}u>’i< bisa dilakukan dengan memperhatikan beberapa langkah yaitu:
Penetapan judul, takhrij al-hadis, mengumpulkan sanad, matan dan mukharrij
hadis-hadis yang terkait dengan judul sekaligus menetatapkan status hadisnya
dengan melakukan kritik sanad dan matan, kemudian klasifikasi hadis dalam
bentuk ontologis, epistemologis dan aksiologisnya. Semisal topik gibah, setelah
melalui kajian, ditemukan ada 9 hadis pokok yang dikaji dan dari hasil kajian
ditemukan ada 2 dhaif sedangkan yang lain statusnya hasan dan shahih.
Hadis-hadis tersebut kemudian diklasifikasi dalam 3 kategiri yaitu:
a.
Gibah dari segi
etimologi adalah sesuatu yang tertutup dari pandangan sedangkan secara
terminologi, gibah adalah menceritakan seseorang pada saat dia tidak ada dengan sesuatu yang tidak disukai
tanpa ada tujuan yang diperbolehkan oleh syariat.
b.
Berdasarkan
hadis-hadis Nabi, gibah tergolong dosa kecil, bukan dosa besar namun siksaan
bagi pelakunya tetap pedih.
c.
Di antara
sanksi-sanksi yang akan dirasakan oleh pelaku gibah adalah mendapatkan siksaan
kubur, pahala terhapus, dijerumuskan ke dalam api neraka, mengeluarkan bau
busuk di hari kiamat dan menyiksa dirinya sendiri.
B.
Implikasi
Dengan
metode maud}u>’i<, satu topik dapat dilihat secara komprehensif dari
berbagai sudut hadis sehingga permasalahan-permasalahan karena perbedaan matan
dan kandunagn hadis dapat diminimalisir dan didamaikan, bahkan
permasalahan-permasalahan di tengah-tengah masyarakat dapat diselesaikan dengan
metode ini.
Hadis-hadis
yang telah diteliti dan dikaji dalam makalah ini dapat dijadikan pegangan dalam
memberikan definisi tentang gibah, khususnya dalam menanamkan pemahaman-pemahaman
yang benar terhadap masyarakat awam. Gibah yang dilarang oleh al-Qur’an dan hadis-hadis
Nabi tersebut dapat dijadikan pedoman dan diterapkan pada kondisi sekarang ini,
di mana masyarakat terkadang salah memahami apa dan bagaimana gibah yang
sebenarnya. Selain itu, para da’i dan ulama hendaknya memperhatikan dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat, sementara orang tua harus mendidik anak-anaknya
sejak dini agar menjauhi sifat-sifat tercela termasuk gibah sesuai dengan
syariat agama dan hadis-hadis Rasulullan saw. Semoga dengan memberikan pemahaman
dan pendidikan seperti itu, mereka akan menjalankan agama dengan baik dan tumbuh
menjadi anak yang beriman serta memiliki wawasan keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Abu>
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah,
Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Abu> Da>ud,
Sulaiman bin al-Asy’as| al-Azdi<, Sunan Abi< Da>ud, Bairut: Da>r
al-Fikr, t.th.
Abu> Ha>tim,
Muhammad ibn Hibba>n ibn Ahmad, al-S|iqa>t, Cet. I; Bairut:
Da>r al-Fikr, 1390 H/1975 M.
Ahmad, Arifuddin, Metode Tematik dalam
Pengkajian Hadis, Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar,
2007.
___________, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Al-Afriqi<,
Muhammad bin Mukrim bin Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Bairut: Da>r
Ihya>’ al-Turas| al-‘Arabi<, 1996.
Al-Alba>ni<,
Muhammad Na>s}ir al-Di<n, al-Silsilah al-D{a’i<fah, al-Riya>d}:
Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
__________, Al-silsilah
al-S{ahi<hah, al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.
__________, D{a’i<f
al-Targi<b wa al-Tarhi<b, al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif,
t.th.
__________, S}ahi<h
al-Targi<b wa al-Tarhi<b, Cet. V; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif,
t.th.
Al-Asqala>ni<,
Ahmad ibn Ali ibn Hajar, Tahz|i<b al-Tahz|i<b, Cet. I; Bairut: Da>r
al-Fikr, 1404 H/1984 M.
_____________, Fath
al-Ba>ri<, Bairut: Da>r al-Fikr, 1414 H/1991 M.
Al-Bagda>di>, Abu> Bakr al-Khat}i<b, Ta>rikh
Bagda>d, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Al-Ba>ji<,
Abu> al-Wali<d Sulaiman bin Khala>f bin Sa’ad, al-Muntaqa> Syarh
Muwat}t}a’ Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1403 H./1983
M.
Al-Bukha>ri<, Muhammad bin Isma>’i<l, S}ahi<h al-Bukha>ri<,
Riya>d}: Da>r ‘A<lam al-Kutub, 1996.
Al-Dahlawi>,
Abd Haq ibn Saifuddin, Muqaddimah fi> Us{u>l al-Hadi>s, Cet.
II; Bairut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1406 H/1989 M.
Al-Dami<ni<, Maqa>yis Naqd Mutu>n al-Sunnah, Riya>d}: Ja>mi’ah Ibn
Sa’u>d, 1984.
Al-Da>rimi<,
Abu> Muhammad Abdullah bin Abd Rahma>n, Sunan al-Da>rimi<, Bairut:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1407 H.
Al-Farma>wi<,
Abd al-Hayyi, al-Bida>yah fi< al-Tafsi<r al-Maud{u>’i<
Dira>sah Manhajiah Maud}u>’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd
Jalil, Metode Tafsir Maudhui. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1423
H/2002 M.
Al-Gaza>li<,
Abu> Ha>mid Muhammad bin Muhammad, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di<n, Cet.
I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1991.
Al-Haitami<,
Ahmad ibn Hajar, Tat}hi<r al-‘Aibah min Danas al-Gi<bah, Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1409 H./1988 M.
Al-Khat}i<b, Muhammad `’Ajja>j, Us}ūl al-Hadīs|, `’Ulūmuh wa Mus}t}alahuh, Bairut: Da>r al-Fikr, 1989.
Al-Mizzi<, Abu>
al-Hajja>j Yu>suf ibn al-Zaki<, Tahz|i<b al-Kama>l, Cet.
I; Bairut: Muassasah al-Risa>lah, 1400 H/1980 M.
Al-Nawawi<,
Abu> Zakariya Yahya bin Syaraf, Syarh al-Nawawi< ‘ala> S{ahi<h
Muslim, Bairut: Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Al-Qusyairi<,
Abu> al-Husain Muslim bin Hajja>j, S}ahi<h Muslim, Riya>d}:
Da>r ‘A<lam al-Kutub, 1417 H/ 1996 M.
Al-Suyu>t}i>,
Abd Rahman, T{abaqa>t al-Huffa>z}, CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah,
http://www.alwarraq.com.
_____________, Syarh
al-Suyu>t}i< li Sunan al-Nasa>i<, Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>’ah
al-Isla>miyah, 1406 H/1986 M.
Al-Syauka>ni<,
Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadi<r, Bairut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.
Al-T{ahha>n,
Mahmu>d, Taisi>r Mus}t}alah al-Hadi>s, Cet.II; al-Riyad{:
Maktabah al-Ma’a>rif, 1407 H/1987 M.
Al-Thabrani<,
al-Mu’jam al-Aus}a>t}, CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Al-Turmuz|i<,
Abu> I<sa> Muhammad bin I<sa>, Sunan al-Turmuz|i<, Bairut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Al-Zarqa>ni<,
Muhammad bin Abd Ba>qi<, Syarh al-Zarqa>ni< ‘ala> Muwat}t}a’
Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.
Anas, Abu>
Abdillah Ma>lik bin, Muwat}t}}a’ Ma>lik, Bairut: Da>r al-Kutub
Al-‘Ilmiyah, t.th.
Azra, Azyumardi,
dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Finstik, Dr.
A.Y, alih bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, Lahor
Pakistan Barat: Alam Markits, 1391 H/1941 M.
Hambal, Ahmad
bin, Musnad Ahmad, Bairut Lebanon: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M.
Ibn al-S}ala>h, ‘Ulu>m al-Hadi<s|, Madi<nah
al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.
Ibnu Ma>jah,
Abu> Abdillah Muhammad bin Yazi<d al-Qazwi<ni<, Sunan Ibnu Ma>jah,
Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M.
Khon, Abdul
Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, cet ke-1, 2008.
Muslim,
Musta>fa>, Maba>his fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>’i<, Cet.
I; Damasqus: Da>r al-Qalam, 1410 H/1989 M.
Sulaiman PL, HM.
Noor, Antologi Ilmu Hadis, Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2009.
Wensinck, A.J.
dkk. Alih Bahasa Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz} a-Hadi<s|,
Laiden: E.J. Brill, 1969.
[1]Arifuddin Ahmad, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2.
[2]Muhammad bin Isma>’i<l
al-Bukha>ri<, S}ahi>h al-Bukha>ri>, Kitab al-Iman bab
al-Muslim Man Salim al-Muslimun min Lisan…
(Riya>d{: Da>r ‘A<lam al-Kutub, 1996), vol. 1 h. 13
[3]Al-Qur’an menggambarkan gibah
itu bagaikan memakan daging bangkai saudara sebagaimana dalam surah al-Hujura>t:
12. sementara dalam hadis-hadis Nabi, gibah diandaikan sebagai virus yang
sewaktu-waktu menyerang dan menghabisi hasil-hasil tanaman dari amal
ibadah.
[4]Abu> al-Husain Ahmad ibn
Fa>ris ibn Zaka>riya<>, Mu’jam Maqa>yis al-Lugah (Bairut:
Da>r al-Fikr, t.th.), vol. 2 h. 218.
[5]Musta>fa> Muslim, Maba>his
fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>’i< (Cet. I; Damasqus: Da>r
al-Qalam, 1410 H/1989 M) h. 16.
[6]Abd al-Hayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah
fi< al-Tafsi>r al-Maud{u>’I< Dira>sah Manhajiah Maud}u>’iyah.
diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. (Cet.
I; Bandung: Pustaka Setia, 1423 H/2002 M), h. 44.
[7]Arifuddin
Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis (Makassar: Rapat Senat Luar
Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 4.
[8]I’tibar adalah suatu proses yang
membandingkan antara beberapa riwayat untuk mengetahui apakah perawinya itu
sendiri meriwayatkan hadis tersebut ataukah ada perawi lain yang
meriwayatkannya. Jika ada perawi/sanad yang lain, apakah kedua sanad itu sama di
tingkat sahabat ataukah berbeda? Jika sama ditingkat sahabat akan tetapi
berbeda ditingkat setelah disebut berarti hadis tersebut ada muta’bi’-nya,
jika berbeda ditingkat sahabat maka hadis tersebut ada syahid-nya.
Lihat: Abd Haq ibn Saifuddin al-Dahlawi>, Muqaddimah fi> Us{u>l
al-Hadi>s (Cet. II; Bairut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah,
1406 H/1989 M), h. 56-57. Bandingkan dengan Mahmu>d al-T{ahha>n, Taisi>r
Mus}t}alah al-Hadi>s, (Cet.II; al-Riya>d{: Maktabah al-Ma’a>rif,
1407 H/1987 M), h. 142.
[10]A.J. Wensinck, dkk. Alih Bahasa
Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfa>z} a-Hadi>s (Leiden:
E.J. Brill, 1969), vol. 5 h. 30
[11]Dr. A.Y Finstik, alih bahasa
Muhammad Fuad Abd Baqi, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah, (Lahor Pakistan
Barat: Alam Markits, 1391 H/1941 M), h. 395
[12]Mah}mu>d al-T{ah{h{a>n, Op.Cit.,
h. 16.
[13]Al-Damini, Maqa>yis Naqd Mutu>n
al-Sunnah, (Riya>d}: Ja>mi’ah Ibn Sa’u>d, 1984), h. 50.
Lihat juga Muhammad `Ajjaj al-Khatib, Ushūl al-Hadīts: `Ulūmuh wa Mus}t}alahuh (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32.
[14]Ibn al-S}ala>h, ‘Ulu>m al-Hadis|, (Madi>nah
al-Munawwarah: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1972), h. 18.
[15]HM. Noor Sulaiman, PL, Antologi
Ilmu Hadis (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada, 2009), h. 20.
[16]Abu al-Husain Muslim bin Hajja>j
al-Qusyairi>, S}ahi>h Muslim (Riya>d{: Da>r ‘A<lam
al-Kutub, 1417 H/ 1996 M) vol. 4 h. 2001. Hadis yang senada dengan hadis di
atas terdapat di Abu Isa Muhammad bin I<sa> al-Turmuz|i<, Sunan
al-Turmuz|i< (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.) vol. 4 h.
290. Abu> Da>ud Sulaiman bin al-Asy’as| al-Azdi<, Sunan Abi< Da>ud
(Bairut: Da>r al-Fikr, t.th.) vol. 4 h. 269. Ahmad bin Hambal, Musnad
Ahmad (Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M), vol. 2 h. 230, 384, 386 dan
458 dan Abu> Muhammad Abdullah bin Abd Rahma>n al-Da>rimi<, Sunan
al-Da>rimi< (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1407 H),
vol. 2 h. 299.
[17]Ahmad ibn Hambal, Musnad
Ahmad, Op.Cit. vol. 6 h. 136.
[18]Abu> Da>ud, Sunan Abi<
Da>ud, kitab al-Adab bab fi al-Gi<bah, Op.Cit. vol. 4
h. 270. juga terdapat di Musnad Ahmad. Op.Cit. vol. 4 h. 421 dan
424.
[19]Abu> Abdillah Muhammad bin Ya>zid
al-Qazwi<ni< al-masyhur bi Ibnu Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah
(Bairut: Da>r al-Fikr, 1415 H/1995 M), vol. 1 h. 123-124.
[20]Al-Da>rimi<, Sunan
al-Da>rimi<. Op.Cit. vol. 2 h. 26.
[21]Ahmad ibn Hambal, Musnad
Ahmad. Op.Cit. vol. 6 h. 461.
[23]Abu> Da>ud, Sunan Abi<
Da>ud, Op.Cit. vol. 4 h. 269.
[24]Al-T{abra>ni<, al-Mu’jam
al-Aus}a>t}, vol. 6 h. 348. diambil dari CD ROM al-Maktabah al-Sya>milah.
Dan lihat Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2005) vol. 2 h. 213.
[25]Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis (Jakarta: Sinar Grafika Offset, cet ke-1, 2008) h. 247.
[26]Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqala>ni<,
Tahz|i<b al-Tahz|i<b (Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr, 1404 H/1984
M), vol. 12 h. 288.
[28]Abu> al-Hajja>j Yu>suf
ibn al-Zaki< al-Mizzi<, Tahz|i<b al-Kama>l (Cet. I; Bairut:
Muassasah al-Risa>lah, 1400 H/1980 M), vol. 31 h.
[29]Al-Mizzi<, Tahz|i<b
al-Kama>l, Op.Cit. vol. 22 h. 520.
Lihat juga: al-Asqala>ni<, Tahz|i<b al-Tahz|i<b, Op.Cit. vol.
8 h. 166.
[30]Abd Rahma>n Jala>luddin
al-Suyu>t}i>, T{abaqa>t al-Huffa>z} (CD ROM al-Maktabah
al-Syamilah) http://www.alwarraq.com,
vol. 1 h. 19.
[31]Abu> Bakr al-Khat}i>b
al-Bagda>di>, Ta>rikh Bagda>d (Bairut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th.), vol. 11 h. 416.
[33]Abu> Ha>tim Muhammad ibn
Hibba>n ibn Ahmad, al-S|iqa>t (Cet. I; Bairut: Da>r al-Fikr,
1390 H/1975 M), vol. 9 h. 20.
[34]Al-Asqala>ni<, Tahz|i<b
al-Tahz|i<b, Op.Cit. vol. 8 h. 322.
[35]Al-Mizzi<, Tahz|i<b
al-Kama>l, vol. 31 h. 238-241.
[36] Ibid. vol. 31 h.
238.
[37]Muhammad Na>s}ir al-Di<n
al-Alba>ni, S}ahi<h al-Targi<b wa al-Tarhi<b (Cet. V;
al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 2 h. 292.
[38]Muhammad Na>s}ir al-Di<n
al-Alba>ni<, al-Silsilah al-D}a’i<fah (al-Riya>d{: Maktabah
al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 3 h. 631., Muhammad Na>s{ir al-Di<n al-Alba>ni<,
D{a’i<f al-Targi<b wa al-Tarhi<b (al-Riya>d{: Maktabah
al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 1 h. 166.
Abd Rahman al-Suyu>t}i<, Syarh al-Suyu>t}i< li Sunan
al-Nasa>i< (Cet. II; Halb: Maktab al-Mat}bu>’ah al-Isla>miyah,
1406 H/1986 M), vol. 4 h. 164.
[39]Al-Alba>ni<, S}ahi<h
al-Targi<b wa Tarhi<b, Op.Cit. vol. 3 h. 52.
[40]Muhammad Na>s}ir al-Di<n
al-Alba>ni<, Al-silsilah al-S}ahi<hah (al-Riya>d{: Maktabah
al-Ma’a>rif, t.th.), vol. 2 h. 69. Shahih al-Targib wa al-Tarhib, Op.Cit.
vol. 3 h. 51.
[41]Ibnu Fa>ris, Mu’jam Maqa>yis
al-Lugah, Op.Cit., vol. 4 h. 340.
[42]Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqala>ni<,
Fath al-Ba>ri<, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1414 H./1991 M.), vol. 12
h. 88.
[43]Abu Ha>mid Muhammad bin
Muhammad al-Gaza>li<, Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di<n (Bairut: Da>r
al-Fikr, Cet. I, 1991), vol. 2 h. 338.
[44]Abu> Zakariya> Yahya bin
Syaraf al-Nawawi<, Syarh al-Nawawi< ‘ala> S}ahi<h Muslim (Bairut:
Da>r al-Fikr, 1401 H./1981 M.), vol. 16 h. 142.
[45]Lihat hadis no. 1.
[46]Muhammad bin Mukrim bin Manz{u>r
al-Afri<qi<, Lisa>n al-‘Arab (Bairut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s|
al-‘Arabi<, 1996), vol. 1 h. 654.
[47]Bunyi teksnya: ...أن تذكر من المرء ما
يكره أن يسمع... , Muhammad bin Abd Ba>qi< al-Zarqa>ni<, Syarh
al-Zarqa>ni< ‘ala> Muwat}t}a’ Ma>lik (Bairut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.) vol. 4 h. 520. Hadisnya shahih.
[48]Abu> al-Wali>d Sulaiman
bin Khala>f bin Sa’ad al-Ba>ji<, al-Muntaqa> Syarh Muwat}t}a’
Ma>lik, (Bairut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi<, 1403 H./1983 M.), vol.
7 h. 311.
[49]Lihat hadis no. 2
[50]Abu> ‘Abdillah Ma>lik bin
A<nas, Muwat}t}a’ Ma>lik, kitab al-Ja>mi’ bab Ma>
Ja>’a fi< al-Gi<bah, (Bairut:
Da>r al-Kutub Al-‘Ilmiyah) h. 538. salah satu perawi hadis ini yaitu
al-Mutthalib bin Abdullah bin Hanthab dinilai cacat oleh Muhammad bin Sa’ad
dengan mengatakan لا
يحتج بحديثه tetapi mayoritas kritikus menilainya tsiqah sehingga
hadis ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Lihat: al-Mizzi<: Tahz|i<b
al-Kama>l, Op.Cit., vol. 28 h. 81.
[51]Muslim, S}ahi<h Muslim.
Kitab al-T{ala>q bab al-Mut}alliqah S|ala>s|, Op.Cit. vol.
2 h. 1114. Mengenai status hadis tersebut shahih karena semua perawinya tsiqah.
[52]Al-Bukha>ri<, S}ahi<h
al-Bukha>ri<, kitab al-Wika>lah bab al-Wika>lah fi
Qad}a>’ al-Duyu>n. Op.Cit. vol. 3 h. 61-62. Status hadis ini shahih sebab
perawinya s|iqah.
[53]Ibid. vol. 6 h. 193. perawi-perawi
hadis ini dapat dipercaya dan tidak ditemukan krikus hadis yang mencelanya
sehingga dapat disimpulkan hadisnya shahih.
[54]Abu> Zakariya> Yahya bin
Syaraf al-Nawawi<, Op.Cit., vol. 16 hal. 142. Lihat juga: al-Ghazali,
Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, diterj. Zainuddin, Bahaya Lidah
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Cet. II) h. 79-82
يا أيها الذين
آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب
أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم
[56]Muhammad bin Ali bin Muhammad
al-Syauka>ni<, Fath al-Qadi<r. (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1994), vol. 7 h. 17
[57]Untuk sanad dan matan yang
lengkap, lihat hadis no. 3.
[58]Ahmad bin Hajar al-Haitami<, Tat}hi<r
al-‘Aibah min Danas al-Gi<bah. (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1409 H./1988 M.), h. 79.
[59]Lihat hadis no. 4.
[60]Lihat hadis no. 6.
[61] Lihat hadis no, 7.
[62]Lihat hadis no. 8.
[63]Lihat hadis no. 5.
[64]Lihat hadis no. 9.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....