Oleh: Fauziah Ahmad, S.Th.I
A. Ariaani Hidayat, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai wanita –utamanya dalam Islam- berarti berbicara mengenai sesuatu yang selalu menarik. Wanita dalam Islam selalu dianggap bagian dari “kejelekan” ajaran Islam. Mereka yang mengaku dirinya manusia modern –setidak-tidaknya- menganggap ada empat hal sisi negatif ajaran Islam tentang wanita. Keempat sisi yang dimaksud ialah; pertama, perkawinan yang harus diatur oleh orang tua. Kedua, poligami. Ketiga, hak perceraian yang ada di tangan laki-laki. Dan keempat, ketatnya aturan tentang pakaian wanita. Anggapan serupa berkembang di kalangan masyarakat Islam ketika mereka kontak dengan masyarakat dan budaya barat yang diidentifikasikan sebagai masyarakat dan budaya modern sekaligus simbol kemajuan suatu bangsa.
Dari pertemuan kedua budaya dan masyarakat tersebut, menyebabkan diskusi ke-wanita-an semakin meluas, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Mulai dari bentuk pekerjaan atau entitas yang bisa dilakukan wanita muslimah, sampai kepada status wanita dalam Islam, pandangan al Qur’an dan sunnah mengenai persamaan laki-laki dan wanita (persamaan gender) dalam artian sama martabat dan penghargaan terhadapnya, ataukah ia hanya dianggap sebagai jenis makhluk yang inferior dan budak serta pelengkap kehidupan lelaki?
Sekalipun sebenarnya Islam datang membawa misi kemuliaan kepada seluruh manusia termasuk wanita. Bahkan dalam al Qur’an dan sunnah ada beberapa dalil yang meningkatkan harkat dan derajat wanita. Penyebutan kata wanita dengan julukan yang beraneka ragam sesuai dengan status mereka –misalnya bintun, ukhtun dan ummi- menunjukkan luasnya kesempatan kepada wanita untuk menikmati hak sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, agama dan pendidikan seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Hanya saja seiring dengan penghargaan tersebut, tampaknya ada beberapa ayat dan hadis yang dianggap memiliki kekurangan –bila kita berani mengatakan “memiliki kekurangan” sebab dalil-dalil yang ada justru menghargai dan menghormati wanita- sehingga wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki secara mutlak. Termasuk di antaranya hadis mengenai kecaman Nabi terhadap negeri yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Atau dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak boleh mengimami laki-laki.
Berdasarkan dengan kenyataan di atas sehingga penulis berusaha menyusun sebuah makalah yang terkait dengan pandangan al sunnah –bukan berarti al Qur’an terlupakan- mengenai wanita utamanya dalam hal persamaan gender tersebut. Apakah betul sunnah membedakan status mereka atau sebaliknya sunnah menghendaki kedua jenis manusia tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan kodrat yang telah diberikan kepada mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan penyebab ia menangis karena mengingat sikap dan perbuatannya ketika istrinya melahirkan dan ternyata anak yang lahir adalah seorang wanita. Maka Umar mengambil anak tersebut lalu ia kuburkan hidup-hidup disebabkan adanya anggapan bahwa wanita adalah sebuah aib atau mungkin menjadi pintu masuk kehinaan dalam lingkungan keluarga terhormat.
Demikianlah salah satu dari sekian banyak gambaran tentang keadaan wanita pra-Islam. Terlepas dari benar dan tidaknya riwayat di atas, hal itu menunjukkan penghinaan dan pelecehan terhadap eksistensi wanita[1], bahkan disebutkan bahwa sayyidina Umar bin Khattab ra pernah mengatakan : والله ان كنا في الجاهلية ما نعد النساء أمرا حتى أنزل الله فيهن ما أنزل وقسم لهن ما قسم “Demi Allah, dulu ketika masa Jahiliah. Kami tidak pernah menganggap wanita sebagaimana mestinya hingga Allah menurunkan ayat yang berbicara tentang mereka dan bersumpah untuk mereka”.[2]
Bukan hanya itu, pelecehan terhadap wanita masuk pada persoalan pembagian harta warisan. Di mana mereka –masyarakat jahiliyah- tidak memberikan warisan kecuali kepada anak laki-laki dewasa mereka. Sedangkan wanita dan anak kecil dianggap tidak pantas menjadi pewaris. Bahkan di saat mereka bertawaf di sekeliling Ka’bah, sehelai kain pun tidak melekat ditubuhnya. Betapa rendah kedudukan wanita pra-Islam.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan rendahnya kedudukan wanita. Mereka ibarat wabah penyakit ditengah pemukiman bersih dan bebas pencemaran. Ketiadaannya dianggap kebahagiaan sedangkan kehadirannya bagaikan bala bencana yang siap memporak-porandakan ketenangan mereka (kaum lelaki).
Akan tetapi Islam sebagai agama yang membawa misi kerahmatan datang dengan mengumumkan kemuliaan wanita, mengukuhkan eksistensi mereka sebagai makhluk seutuhnya yang memiliki sifat taklif, tanggung jawab, balasan dan hak masuk surge. Islam memandang wanita sebagai manusia yang mulia, yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Karena keduanya adalah dua cabang dari satu pohon, dua bersaudara yang ayahnya adalah Adam dan ibunya adalah Hawa.[3]
Wanita dalam Islam adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang tinggi, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki nilai dan penghargaan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, termasuk hadis dan sunnah Nabi, maka di sana ditemukan beberapa sabda Nabi yang mengangkat derajat wanita.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah ra. :
سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الرجل يجد البلل ولا يذكر احتلاما قال ” يغتسل ” وعن الرجل يرى أن قد احتلم ولا يجد البلل قال ” لا غسل عليه ” فقالت أم سليم المرأة ترى ذلك أعليها غسل ؟ قال ” نعم إنما النساء شقائق الرجال “[4]
Hadis di atas memang berbicara mengenai kewajiban mandi junub jika seseorang mengalami mimpi basah, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya tidak dibedakan sebab mereka adalah bersaudara yang berasal dari satu keturunan[5]. Persamaan konsekuensi tersebut memberi isyarat bahwa wanita memiliki kedudukan yang tinggi.
Termasuk pula hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. ;
من كانت له أنثى فلم يئدها ولم يهنها ولم يؤثر ولده عليها قال يعني الذكور أدخله الله الجنة
“Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, lalu ia tidak menyakiti (menguburnya hidup-hidup) dan menghinanya serta tidak membedakannya dengan anak laki-lakinya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga”[6].
Hadis ini kembali menegaskan bahwa betapa besar perhatian Islam terhadap wanita karena mereka memang pantas untuk diperhatikan sebagai makhluk yang dimuliakan oleh-Nya dengan adanya kesamaan kedudukan dengan lawan jenisnya. Bahkan secara khusus di dalam al Qur’an terdapat satu surah yang ber-“label”-kan wanita. Demikian pula ayat-ayat al Qur’an, banyak yang menjelaskan kesetaraan tersebut. Misalnya saja firman Allah SWT QS. Al Nisa’; 1 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu…”[7]
Penghormatan dan penghargaan Islam –termasuk yang digambarkan oleh sunnah Nabi- adalah penghormatan yang sempurna, sebab Islam dalam memuliakan wanita tidak terbatas pada pencegahan penyiksaan terhadap mereka atau membebaskan mereka dari penindasan masyarakatnya utamanya kaum lelaki tetapi Islam memuliakan wanita sampai pada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam bentuk pembinaan, mendorong mereka pada kebaikan, membahagiakan serta melapangkan dada mereka pada batasan-batasan yang diperbolehkan oleh Allah[8].
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ;
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فإذا شهد أمرا فليتكلم بخير أو ليسكت واستوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه إن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج استوصوا بالنساء خيرا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian maka hendaklah ia berkata baik bila melihat sesuatu atau ia diam saja, dan minta wasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya sesuatu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin meluruskannya –dengan memaksa- maka kamu akan memecahkannya, namun bila kamu meninggalkannya maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah –minta wasiatlah- terhadap wanita dengan kebaikan”[9].
Menurut Abdul Rauf al Manawi kata “istaushu bi al nisa’I khairan” bermakna saling menasihatilah kalian, pergaulilah para wanita, bercengkramalah dengan mereka serta perbaikilah hubungan kekerabatan dengan mereka[10].
Betapa jelas dalil-dalil agama menunjukkan ketinggian kedudukan wanita sekaligus menjadi bantahan terhadap mereka yang menganggap kaum wanita sebagai kaum pembawa sial ataupun tindakan yang ingin menggeser wanita dari fitrah kemuliaannya dengan “menelanjangi” dan menjadikan mereka jauh dari ketentuan Tuhan kepada mereka. Karena itulah seorang wanita sebaiknya dan memang seharusnya menjaga nilai-nilai kemuliaan yang diberikan kepada mereka.
Bila wanita, kedudukan dan sikap mereka ingin digambarkan maka dapat diibaratkan bahwa wanita adalah makhluk istimewa, setiap saat ribuan lelaki memujanya. Wanita ibarat mutiara. Tidak sembarangan orang memiliki mutiara, hanya yang sebanding dengannya yang layak memilikinya. Mutiara ditempatkan pada tempat khusus dan dilindungi dengan beragam alat pengaman. Hanya orang tertentulah yang boleh melihat dan meraba secara langsung. Dan juga ia hanya bisa didapatkan pada tempat yan agung. Begitulah wanita yang mestinya menjaga dan memelihara kedudukannya yang tinggi di sisi agama.
Membicarakan persoalan gender berarti berbicara mengenai sesuatu yang hangat baik di kalangan agamawan, politisi, akademisi bahkan ibu rumah tangga. Tentunya dari pembicaraan tersebut akan melahirkan perdebatan yang dipicu oleh pola piker dan metodologi yang digunakan[11].
Terlepas dari perdebatan pola pikir dan metodologi tersebut serta sebelum lebih jauh melihat gender dalam tinjauan hadis maka perlu diketahui pengertian gender itu sendiri. Kata “Gender” sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan pengkajinya, Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”,
Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya[12].
Berdasarkan pengertian tersebut maka akan dilihat bahwa kedua jenis makhluk tersebut (laki-laki dan wanita) adalah dua makhluk yang tidak mungkin disamakan dari segi social dan budaya karena memang keduanya memiliki perbedaan[13]. Karena itulah muncul sebuah istilah persamaan jender karena adanya keinginan oleh sebagian orang untuk menyamakan wanita dan laki-laki dalam semua aspek sampai kepada pembangkangan atas kedudukannya sebagai istri, ibu atau sebagai perempuan. Bahkan Juhaya S. Praja mengutip tulisan Qasim Amin –penulis buku al Mar’at al Jadidah (Wanita Modern) dan Tahrir al Mar’at (Emansipasi Wanita) bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita. Perbedaan yang ada di antara mereka hanyalah perbedaan jenis. Kalaupun sejarah mencatat bahwa laki-laki dapat mengungguli wanita dalam mengembangkan kekuatan akal dan badaniahnya, itu hanya karena laki-laki telah bekerja dan mengoptimalkan pikiran dalam periode yang panjang ketika wanita tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang lazim dilakukan laki-laki[14].
Demikianlah sebagian fakta yang terjadi di tengah masyarakat –khususnya pada dekade terakhir ini-, tetapi bagaimana tinjauan agama utamanya hadis Rasulullah melihat konsep persamaan jender tersebut.
Memang Islam telah memuliakan kedudukan dan derajat wanita bahkan dalam beberapa ayat dan hadis terdapat indikasi bahwa wanita lebih mulia dari laki-laki. Di antaranya QS. Al Zumar ; 6, atau hadis-hadis Nabi yang berbicara mengenai perbandingan ayah dan ibu bagi seorang anak untuk berbakti kepadanya, atau pernyataan Nabi bahwa surge berada di telapak kaki ibu. Akan tetapi Islam juga mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki perbedaan –plus mines- di antara keduanya, sehingga keinginan untuk mempersamakan mereka dalam segala aspek kehidupan adalah sesuatu yang tidak mungkin tercapai disebabkan banyak perbedaan tersebut baik dari segi kodratinya maupun dari segi syar’inya.
Bahkan dengan adanya perbedaan dari kedua segi tersebut sehingga Rasulullah sangat melaknat المتشبه baik laki-laki maupun wanita. Hal itu disebabkan oleh adanya keinginan untuk merusak dan menghancurkan perbedaan-perbedaan tersebut di mana hal tersebut tidak bisa berubah[15]. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah dari Hasan ra. :
لعن من الرجال المتشبه بالنساء ولعن من النساء المتشبهة المترجلة
“Rasulullah melaknat lakai-laki yang menyerupai wanita demikian pula wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki”.
Pada dasarnya hadis di atas berbicara mengenai penyamaan dalam aspek bentuk tubuh, akan tetapi setidaknya ia menunjukkan bahwa tidak mungkin menyamakan kedua jenis tersebut. Itulah sebabnya istri Imran ketika mengalami kesulitan ketika melahirkan Maryam –ibunda nabi Isa as.- mengatakan : رب اني وضعتها أنثى والله أعلم بما وضعت وليس الذكر كالأنثى “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”[16]. Imam al Razi pun menafsirkan kalimat وليس الذكر كالأنثى sebagai bukti kemuliaan laki-laki dibandingkan dengan perempuan disebabkan banyak faktor[17].
Bila dilihat sepintas lalu, tampaknya Islam adalah agama yang mendiskriminasikan seorang wanita karena banyaknya batasan dan perbedaannya dengan laki-laki. Akan tetapi bila dikaji lebih jauh maka akan tampak bahwa Islam sebenarnya ingin memposisikan seseorang (laki-laki dan wanita) sesuai dengan posisi mereka, yaitu posisi yang memberikan hak-hak wanita sebagaimana juga member hak-hak laki-laki secara proporsional. Di samping itu, keduan gender tersebut dituntut agar melakukan kewajiban masing-masing dengan benar. Dan tidak ada pertentangan di antara mereka.
Dalam sejarah Islam, jelas bahwa wanita telah memberikan sumbangannya –yang tidak jauh berbeda dengan sumbangsi kaum pria- dalam proses pembangunan dan pengayaan kebudayaan Islam. Wanita –khususnya muslimah- telah menikmati hak dan status yang sama dengan laki-laki dalam hidupnya (sebagai istri). Meskipun demikian, fungsi-fungsi wanita dalam bidang pekerjaan, secara umum berbeda sifat dan ruang lingkupnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh keterbatasan mereka dan perbedaannya dengan laki-laki, baik dari segi fisik, pisiologi, psikologi maupun emosi.
Untuk hal ini perlu diingat bahwa ketidaksamaan dan ketidakseragaman dalam bidang pekerjaan dan fungsi-fungsi antara laki-laki dan wanita itu tidak berarti mencerminkan adanya superioritas yang disebabkan oleh jenis kelamin. Hal itu hanyalah sebagai pembagian kerja di antara mereka berdasarkan tabi’at dan kemampuan masing-masing. Itu semua dimaksudkan sebagai upaya mengaktualisasikan potensi peradaban masyarakat, menyumbangkan kemampuan kreatifnya dalam bidangnya massing-masing, baik yang bersifat material maupun spiritual[18].
Perbedaan yng dimaksud antara laki-laki dan wanita bukanlah perbedaan yang menyebabkan wanita harus tinggal dirumah, wanita tidak perlu belajar kecuali sekedar menghilangkan buta huruf saja. Tetapi –sekali lagi- perbedaan tersebut adalah sarana untuk menciptakan keragaman yang penuh kebersamaan dalam masyarakat. Itulah sebabnya dalam persoalan taklif keberagamaan laki-laki dan wanita memiliki tanggung jawab yang sama tanpa ada pengecualian pada keduanya[19]. Sedangkan pada persoalan lain, wanita tetap memiliki kesempatan sesuia dengan kedudukannya sebagai makhluk yang dimuliakan. Sebagai contoh, kewajiban menuntut ilmu bukan hanya ditujukan kepada kaum dam seemata namun juga mengarah ke kaum Hawa, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh umat Islam”[20]
Sebenarnya bila berbicara mengenai persamaan gender –utamanya status wanita- maka perlu ditinjau dari posisi wanita baik sebagai seorang hamba, sebaga seorang ibu, seorang anak, dan sebagai anggota masyarakat. Tetapi dalam makalah ini penulis tidak menyebutkan secara rinci, namun yang pasti Islam –termasuk sunnah Nabi- telah menempatkan serta memberi keseempatan kepada setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) sesuai dengan kedudukan dan posisinya masing-masing.
Karena itulah dapat diimpulkan bahwa seseorang termasuk wanita tidak boleh meninggalkan tanggung jawab dan fungsi utamanya sebagai seorang manusia (wanita) baik dalam pengertiannya ukhtun, bintun, zaujah maupun Ummun. Dengan demikian diharapkan wanita muslim dapat melaksanakan hal-hal berikut ;
BAB III
PENUTUP
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang gender, termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana konsep hadis tentang persamaan gender tersebut. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
AL Qur’an al Karim
Ahmad Abdul Aziz al Hushain, al Mar’at wa Makanatuha fi al Islam. Kairo. Maktabah al Iman. 1981.
Yusuf al Qaradhawi, Khithabuna al Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika Islam; Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor Ridho. Jakarta. Pustaka al Kautsar. 2007.
Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud. Hims Suriah. Dar al Hadits. tt.
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad. Riyadh. Maktabah al Turats al Islami. 1994.
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1995.
Muhammad Syamsul Haq al Azhim Abadi Abu al Thayyib, ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiyah. 1994.
Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim. Beirut. Dar al FIkr. 1993.
Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Muhammad bin Ahmad Ismail al Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat al Jahiliyah. Kairo. Dar Ibni al Jauzi. 2005.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiah. 1992.
Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1996.
Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah al Qazwini, Sunan Ibni Majah. Semarang. Karya Toha Putra. tt.
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2000.
[1] Keadaan masyarakat yang seperti di atas digambarkan oleh al Qur’an –khususnya QS. Al Nahl ; 58-59- yang menyebutkan bahwa bila yang lahir adalah wanita maka wajah mereka akan berubah menjadi hitam dan sangat marah bahkan mereka akan menyembunyikan diri dari orang lain karena menganggap kelahiran tersebut adalah suatu berita yang sangat buruk bagi mereka.
[2] Ahmad Abdul Aziz al Hushain, al Mar’at wa Makanatuha fi al Islam (Kairo; Maktabah al Iman, 1981), cet. II, hal. 11.
[3] Yusuf al Qaradhawi, Khithabuna al Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika Islam; Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor Ridho (Jakarta; Pustaka al Kautsar, 2007) cet. II, hal. 225.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan al Turmudzi. Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud (Hims Suriah; Dar al Hadits, tt), jil I, hal. 111, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad (Riyadh; Maktabah al Turats al Islami, 1994), jil. VI, hal. 256, dan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. I, hal. 189. Al Turmudzi mengomentari bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang berkualitas baik kecuali Abdullah bin Umar al Umari yang dianggap sebagai perawi yang lemah, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis di atas dari segi sanad memang dhaif namun dari segi matan maka ia tetap sahih, apatah lagi kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, termasuk al Qur’an.
[5] Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 312. Dan Muhammad Syamsul Haq al Azhim Abadi Abu al Thayyib, ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994), jil. I, hal. 275.
[6] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad masing-masing dari Ibnu Abbas ra. Lihat Abu Daud, Op.Cit, jil. II, hal, 759, dan Ahmad, Op.Cit, jil. I, hal. 223.
[7] Para mufassir berbeda pendapat memahami makna kata “min nafsin wahidah”, sebagian di antaranya memahami sebagai nabi Adam as. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan tubuh manusia. Namun terlepas dari keragaman pehamaman tersebut, yang jelas wanita dan laki-laki adalah makhluk yang sama di hadapan Allah sehingga tidak seyogyanya mereka dibedakan dalam kedudukan sebagai hamba Allah yang memiliki taklif dan tanggung jawab masing-masing. Untuk lebih jelasnya lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. III, hal. 397, Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. V, hal. 35.
[8] Muhammad bin Ahmad Ismail al Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat al Jahiliyah (Kairo; Dar Ibni al Jauzi, 2005), cet. I, hal. 101.
[9] Diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah. Lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; Bab al Suhulah wa al Samahah (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. III, hal. 212. Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1996), jil. IV, hal. 178. Dan Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah al Qazwini, Sunan Ibni Majah (Semarang; Karya Toha Putra, tt), jil. I, hal. 594.
[10] Abdul Rauf al Manawi, Faidhu al Qadir Syarh al Jami’ al Shaghir (Mesir; Maktabah al Tijariyah al Kubra, 1356 H), cet. I, jil. 1, hal. 506.
[11] Untuk lebih jelasnya mengenai hal pola piker dan metodologi tersebut lihat Barbara Freyer Stower, Reinterpretasi Gender (Wanita dalam Al Qur’an, Hadis dan Tafsir) (Bandung; Pustaka Hidayah, 2001), hal. 15.
[12] Lihat Nasaruddin Umar, Persfektif Jender Dalam Islam (jurnal Paramadina)
[13] Hal ini berbeda dengan maksud bagian pertama di atas tentang kedudukan wanita. Benar laki-laki dan wanita memiliki kedudukan yang sama bahkan kemungkinan wanita lebih mulia dari laki-laki, akan tetapi dalam aspek lain termasuk statusnya maka wanita dianggap tetap berbeda dengan laki-laki.
[14] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000), cet. I, hal. 254.
[15] Muhammad bin Ahmad, Op.Cit, hal. 125.
[16] QS. Ali Imran ; 36.
[17] Lebih jelasnya baca Fakhruddin al Razi, Op.Cit. jil. IV, hal. 185.
[18] Juhaya S. Praja, Op.Cit, hal. 249.
[19] Baca QS. Al Buruj ; 10, QS al Naahl ; 97, QS. Ghafir; 40, dan masih banyak ayat-ayat yang lain tidak nyamakan tanggung jawab dan hak mereka untuk melakukan serta mendapatkan konsekuensi keberagamaannya.
[20] Lihat Ibnu Majah, Op.Cit, jil. I, hal. 81. Al Suyuthi menganggap hadiis tersebut sebagai hadis sahih karena memiliki banyak riwayat.
A. Ariaani Hidayat, S.Th.I
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Berbicara mengenai wanita –utamanya dalam Islam- berarti berbicara mengenai sesuatu yang selalu menarik. Wanita dalam Islam selalu dianggap bagian dari “kejelekan” ajaran Islam. Mereka yang mengaku dirinya manusia modern –setidak-tidaknya- menganggap ada empat hal sisi negatif ajaran Islam tentang wanita. Keempat sisi yang dimaksud ialah; pertama, perkawinan yang harus diatur oleh orang tua. Kedua, poligami. Ketiga, hak perceraian yang ada di tangan laki-laki. Dan keempat, ketatnya aturan tentang pakaian wanita. Anggapan serupa berkembang di kalangan masyarakat Islam ketika mereka kontak dengan masyarakat dan budaya barat yang diidentifikasikan sebagai masyarakat dan budaya modern sekaligus simbol kemajuan suatu bangsa.
Dari pertemuan kedua budaya dan masyarakat tersebut, menyebabkan diskusi ke-wanita-an semakin meluas, termasuk di kalangan umat Islam sendiri. Mulai dari bentuk pekerjaan atau entitas yang bisa dilakukan wanita muslimah, sampai kepada status wanita dalam Islam, pandangan al Qur’an dan sunnah mengenai persamaan laki-laki dan wanita (persamaan gender) dalam artian sama martabat dan penghargaan terhadapnya, ataukah ia hanya dianggap sebagai jenis makhluk yang inferior dan budak serta pelengkap kehidupan lelaki?
Sekalipun sebenarnya Islam datang membawa misi kemuliaan kepada seluruh manusia termasuk wanita. Bahkan dalam al Qur’an dan sunnah ada beberapa dalil yang meningkatkan harkat dan derajat wanita. Penyebutan kata wanita dengan julukan yang beraneka ragam sesuai dengan status mereka –misalnya bintun, ukhtun dan ummi- menunjukkan luasnya kesempatan kepada wanita untuk menikmati hak sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, agama dan pendidikan seperti yang dimiliki oleh laki-laki.
Hanya saja seiring dengan penghargaan tersebut, tampaknya ada beberapa ayat dan hadis yang dianggap memiliki kekurangan –bila kita berani mengatakan “memiliki kekurangan” sebab dalil-dalil yang ada justru menghargai dan menghormati wanita- sehingga wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki secara mutlak. Termasuk di antaranya hadis mengenai kecaman Nabi terhadap negeri yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Atau dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak boleh mengimami laki-laki.
Berdasarkan dengan kenyataan di atas sehingga penulis berusaha menyusun sebuah makalah yang terkait dengan pandangan al sunnah –bukan berarti al Qur’an terlupakan- mengenai wanita utamanya dalam hal persamaan gender tersebut. Apakah betul sunnah membedakan status mereka atau sebaliknya sunnah menghendaki kedua jenis manusia tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan kodrat yang telah diberikan kepada mereka.
- B. Rumusan Masalah
- Bagaimana kedudukan wanita menurut hadis Rasulullah SAW?
- Bagaimana status wanita bila dikaitkan dengan persamaan gender menurut hadis Rasulullah SAW?
BAB II
PEMBAHASAN
- Kedudukan Wanita menurut Hadis Rasulullah
Sedangkan penyebab ia menangis karena mengingat sikap dan perbuatannya ketika istrinya melahirkan dan ternyata anak yang lahir adalah seorang wanita. Maka Umar mengambil anak tersebut lalu ia kuburkan hidup-hidup disebabkan adanya anggapan bahwa wanita adalah sebuah aib atau mungkin menjadi pintu masuk kehinaan dalam lingkungan keluarga terhormat.
Demikianlah salah satu dari sekian banyak gambaran tentang keadaan wanita pra-Islam. Terlepas dari benar dan tidaknya riwayat di atas, hal itu menunjukkan penghinaan dan pelecehan terhadap eksistensi wanita[1], bahkan disebutkan bahwa sayyidina Umar bin Khattab ra pernah mengatakan : والله ان كنا في الجاهلية ما نعد النساء أمرا حتى أنزل الله فيهن ما أنزل وقسم لهن ما قسم “Demi Allah, dulu ketika masa Jahiliah. Kami tidak pernah menganggap wanita sebagaimana mestinya hingga Allah menurunkan ayat yang berbicara tentang mereka dan bersumpah untuk mereka”.[2]
Bukan hanya itu, pelecehan terhadap wanita masuk pada persoalan pembagian harta warisan. Di mana mereka –masyarakat jahiliyah- tidak memberikan warisan kecuali kepada anak laki-laki dewasa mereka. Sedangkan wanita dan anak kecil dianggap tidak pantas menjadi pewaris. Bahkan di saat mereka bertawaf di sekeliling Ka’bah, sehelai kain pun tidak melekat ditubuhnya. Betapa rendah kedudukan wanita pra-Islam.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan rendahnya kedudukan wanita. Mereka ibarat wabah penyakit ditengah pemukiman bersih dan bebas pencemaran. Ketiadaannya dianggap kebahagiaan sedangkan kehadirannya bagaikan bala bencana yang siap memporak-porandakan ketenangan mereka (kaum lelaki).
Akan tetapi Islam sebagai agama yang membawa misi kerahmatan datang dengan mengumumkan kemuliaan wanita, mengukuhkan eksistensi mereka sebagai makhluk seutuhnya yang memiliki sifat taklif, tanggung jawab, balasan dan hak masuk surge. Islam memandang wanita sebagai manusia yang mulia, yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Karena keduanya adalah dua cabang dari satu pohon, dua bersaudara yang ayahnya adalah Adam dan ibunya adalah Hawa.[3]
Wanita dalam Islam adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang tinggi, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki nilai dan penghargaan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, termasuk hadis dan sunnah Nabi, maka di sana ditemukan beberapa sabda Nabi yang mengangkat derajat wanita.
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah ra. :
سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الرجل يجد البلل ولا يذكر احتلاما قال ” يغتسل ” وعن الرجل يرى أن قد احتلم ولا يجد البلل قال ” لا غسل عليه ” فقالت أم سليم المرأة ترى ذلك أعليها غسل ؟ قال ” نعم إنما النساء شقائق الرجال “[4]
Hadis di atas memang berbicara mengenai kewajiban mandi junub jika seseorang mengalami mimpi basah, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya tidak dibedakan sebab mereka adalah bersaudara yang berasal dari satu keturunan[5]. Persamaan konsekuensi tersebut memberi isyarat bahwa wanita memiliki kedudukan yang tinggi.
Termasuk pula hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. ;
من كانت له أنثى فلم يئدها ولم يهنها ولم يؤثر ولده عليها قال يعني الذكور أدخله الله الجنة
“Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan, lalu ia tidak menyakiti (menguburnya hidup-hidup) dan menghinanya serta tidak membedakannya dengan anak laki-lakinya maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga”[6].
Hadis ini kembali menegaskan bahwa betapa besar perhatian Islam terhadap wanita karena mereka memang pantas untuk diperhatikan sebagai makhluk yang dimuliakan oleh-Nya dengan adanya kesamaan kedudukan dengan lawan jenisnya. Bahkan secara khusus di dalam al Qur’an terdapat satu surah yang ber-“label”-kan wanita. Demikian pula ayat-ayat al Qur’an, banyak yang menjelaskan kesetaraan tersebut. Misalnya saja firman Allah SWT QS. Al Nisa’; 1 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu…”[7]
Penghormatan dan penghargaan Islam –termasuk yang digambarkan oleh sunnah Nabi- adalah penghormatan yang sempurna, sebab Islam dalam memuliakan wanita tidak terbatas pada pencegahan penyiksaan terhadap mereka atau membebaskan mereka dari penindasan masyarakatnya utamanya kaum lelaki tetapi Islam memuliakan wanita sampai pada apa yang dicontohkan Rasulullah dalam bentuk pembinaan, mendorong mereka pada kebaikan, membahagiakan serta melapangkan dada mereka pada batasan-batasan yang diperbolehkan oleh Allah[8].
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ;
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فإذا شهد أمرا فليتكلم بخير أو ليسكت واستوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه إن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج استوصوا بالنساء خيرا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian maka hendaklah ia berkata baik bila melihat sesuatu atau ia diam saja, dan minta wasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya sesuatu yang paling bengkok adalah yang paling atas. Bila kamu ingin meluruskannya –dengan memaksa- maka kamu akan memecahkannya, namun bila kamu meninggalkannya maka ia akan tetap bengkok. Berwasiatlah –minta wasiatlah- terhadap wanita dengan kebaikan”[9].
Menurut Abdul Rauf al Manawi kata “istaushu bi al nisa’I khairan” bermakna saling menasihatilah kalian, pergaulilah para wanita, bercengkramalah dengan mereka serta perbaikilah hubungan kekerabatan dengan mereka[10].
Betapa jelas dalil-dalil agama menunjukkan ketinggian kedudukan wanita sekaligus menjadi bantahan terhadap mereka yang menganggap kaum wanita sebagai kaum pembawa sial ataupun tindakan yang ingin menggeser wanita dari fitrah kemuliaannya dengan “menelanjangi” dan menjadikan mereka jauh dari ketentuan Tuhan kepada mereka. Karena itulah seorang wanita sebaiknya dan memang seharusnya menjaga nilai-nilai kemuliaan yang diberikan kepada mereka.
Bila wanita, kedudukan dan sikap mereka ingin digambarkan maka dapat diibaratkan bahwa wanita adalah makhluk istimewa, setiap saat ribuan lelaki memujanya. Wanita ibarat mutiara. Tidak sembarangan orang memiliki mutiara, hanya yang sebanding dengannya yang layak memilikinya. Mutiara ditempatkan pada tempat khusus dan dilindungi dengan beragam alat pengaman. Hanya orang tertentulah yang boleh melihat dan meraba secara langsung. Dan juga ia hanya bisa didapatkan pada tempat yan agung. Begitulah wanita yang mestinya menjaga dan memelihara kedudukannya yang tinggi di sisi agama.
- Status wanita dalam tinjauan hadis Nabi
Membicarakan persoalan gender berarti berbicara mengenai sesuatu yang hangat baik di kalangan agamawan, politisi, akademisi bahkan ibu rumah tangga. Tentunya dari pembicaraan tersebut akan melahirkan perdebatan yang dipicu oleh pola piker dan metodologi yang digunakan[11].
Terlepas dari perdebatan pola pikir dan metodologi tersebut serta sebelum lebih jauh melihat gender dalam tinjauan hadis maka perlu diketahui pengertian gender itu sendiri. Kata “Gender” sampai dengan sekarang masih dalam pengertian yang rancu di kalangan pengkajinya, Nasaruddin Umar dalam Jurnal Paramadina menyebutkan kata gender yang berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”,
Nasaruddin Umar juga menyebutkan bahwa kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah “jender”. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya[12].
Berdasarkan pengertian tersebut maka akan dilihat bahwa kedua jenis makhluk tersebut (laki-laki dan wanita) adalah dua makhluk yang tidak mungkin disamakan dari segi social dan budaya karena memang keduanya memiliki perbedaan[13]. Karena itulah muncul sebuah istilah persamaan jender karena adanya keinginan oleh sebagian orang untuk menyamakan wanita dan laki-laki dalam semua aspek sampai kepada pembangkangan atas kedudukannya sebagai istri, ibu atau sebagai perempuan. Bahkan Juhaya S. Praja mengutip tulisan Qasim Amin –penulis buku al Mar’at al Jadidah (Wanita Modern) dan Tahrir al Mar’at (Emansipasi Wanita) bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita. Perbedaan yang ada di antara mereka hanyalah perbedaan jenis. Kalaupun sejarah mencatat bahwa laki-laki dapat mengungguli wanita dalam mengembangkan kekuatan akal dan badaniahnya, itu hanya karena laki-laki telah bekerja dan mengoptimalkan pikiran dalam periode yang panjang ketika wanita tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang lazim dilakukan laki-laki[14].
Demikianlah sebagian fakta yang terjadi di tengah masyarakat –khususnya pada dekade terakhir ini-, tetapi bagaimana tinjauan agama utamanya hadis Rasulullah melihat konsep persamaan jender tersebut.
Memang Islam telah memuliakan kedudukan dan derajat wanita bahkan dalam beberapa ayat dan hadis terdapat indikasi bahwa wanita lebih mulia dari laki-laki. Di antaranya QS. Al Zumar ; 6, atau hadis-hadis Nabi yang berbicara mengenai perbandingan ayah dan ibu bagi seorang anak untuk berbakti kepadanya, atau pernyataan Nabi bahwa surge berada di telapak kaki ibu. Akan tetapi Islam juga mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki perbedaan –plus mines- di antara keduanya, sehingga keinginan untuk mempersamakan mereka dalam segala aspek kehidupan adalah sesuatu yang tidak mungkin tercapai disebabkan banyak perbedaan tersebut baik dari segi kodratinya maupun dari segi syar’inya.
Bahkan dengan adanya perbedaan dari kedua segi tersebut sehingga Rasulullah sangat melaknat المتشبه baik laki-laki maupun wanita. Hal itu disebabkan oleh adanya keinginan untuk merusak dan menghancurkan perbedaan-perbedaan tersebut di mana hal tersebut tidak bisa berubah[15]. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah dari Hasan ra. :
لعن من الرجال المتشبه بالنساء ولعن من النساء المتشبهة المترجلة
“Rasulullah melaknat lakai-laki yang menyerupai wanita demikian pula wanita yang bertingkah laku seperti laki-laki”.
Pada dasarnya hadis di atas berbicara mengenai penyamaan dalam aspek bentuk tubuh, akan tetapi setidaknya ia menunjukkan bahwa tidak mungkin menyamakan kedua jenis tersebut. Itulah sebabnya istri Imran ketika mengalami kesulitan ketika melahirkan Maryam –ibunda nabi Isa as.- mengatakan : رب اني وضعتها أنثى والله أعلم بما وضعت وليس الذكر كالأنثى “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”[16]. Imam al Razi pun menafsirkan kalimat وليس الذكر كالأنثى sebagai bukti kemuliaan laki-laki dibandingkan dengan perempuan disebabkan banyak faktor[17].
Bila dilihat sepintas lalu, tampaknya Islam adalah agama yang mendiskriminasikan seorang wanita karena banyaknya batasan dan perbedaannya dengan laki-laki. Akan tetapi bila dikaji lebih jauh maka akan tampak bahwa Islam sebenarnya ingin memposisikan seseorang (laki-laki dan wanita) sesuai dengan posisi mereka, yaitu posisi yang memberikan hak-hak wanita sebagaimana juga member hak-hak laki-laki secara proporsional. Di samping itu, keduan gender tersebut dituntut agar melakukan kewajiban masing-masing dengan benar. Dan tidak ada pertentangan di antara mereka.
Dalam sejarah Islam, jelas bahwa wanita telah memberikan sumbangannya –yang tidak jauh berbeda dengan sumbangsi kaum pria- dalam proses pembangunan dan pengayaan kebudayaan Islam. Wanita –khususnya muslimah- telah menikmati hak dan status yang sama dengan laki-laki dalam hidupnya (sebagai istri). Meskipun demikian, fungsi-fungsi wanita dalam bidang pekerjaan, secara umum berbeda sifat dan ruang lingkupnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh keterbatasan mereka dan perbedaannya dengan laki-laki, baik dari segi fisik, pisiologi, psikologi maupun emosi.
Untuk hal ini perlu diingat bahwa ketidaksamaan dan ketidakseragaman dalam bidang pekerjaan dan fungsi-fungsi antara laki-laki dan wanita itu tidak berarti mencerminkan adanya superioritas yang disebabkan oleh jenis kelamin. Hal itu hanyalah sebagai pembagian kerja di antara mereka berdasarkan tabi’at dan kemampuan masing-masing. Itu semua dimaksudkan sebagai upaya mengaktualisasikan potensi peradaban masyarakat, menyumbangkan kemampuan kreatifnya dalam bidangnya massing-masing, baik yang bersifat material maupun spiritual[18].
Perbedaan yng dimaksud antara laki-laki dan wanita bukanlah perbedaan yang menyebabkan wanita harus tinggal dirumah, wanita tidak perlu belajar kecuali sekedar menghilangkan buta huruf saja. Tetapi –sekali lagi- perbedaan tersebut adalah sarana untuk menciptakan keragaman yang penuh kebersamaan dalam masyarakat. Itulah sebabnya dalam persoalan taklif keberagamaan laki-laki dan wanita memiliki tanggung jawab yang sama tanpa ada pengecualian pada keduanya[19]. Sedangkan pada persoalan lain, wanita tetap memiliki kesempatan sesuia dengan kedudukannya sebagai makhluk yang dimuliakan. Sebagai contoh, kewajiban menuntut ilmu bukan hanya ditujukan kepada kaum dam seemata namun juga mengarah ke kaum Hawa, sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh umat Islam”[20]
Sebenarnya bila berbicara mengenai persamaan gender –utamanya status wanita- maka perlu ditinjau dari posisi wanita baik sebagai seorang hamba, sebaga seorang ibu, seorang anak, dan sebagai anggota masyarakat. Tetapi dalam makalah ini penulis tidak menyebutkan secara rinci, namun yang pasti Islam –termasuk sunnah Nabi- telah menempatkan serta memberi keseempatan kepada setiap manusia (laki-laki maupun perempuan) sesuai dengan kedudukan dan posisinya masing-masing.
Karena itulah dapat diimpulkan bahwa seseorang termasuk wanita tidak boleh meninggalkan tanggung jawab dan fungsi utamanya sebagai seorang manusia (wanita) baik dalam pengertiannya ukhtun, bintun, zaujah maupun Ummun. Dengan demikian diharapkan wanita muslim dapat melaksanakan hal-hal berikut ;
- Konsentrasi pada posisi sentralnya; a) sebagai ibu rumah tangga dan partner suaminya (zaujah), b) mendidik dan mengajar anak-anaknya dengan terlebih dahulu ia harus terdidik dan terpelajar.
- Bekerja sama dengan suaminya dengan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai kepala rumah tangga.
- Bebas berkarier di luar rumahnya sehingga dapat bergaul dengan lain jenis dengan tetap berpegang pada aturan Allah dan Rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
- Wanita sebelum datangnya Islam bagaikan makhluk aneh yang siap menyebarkan virus kehinaan di tengah peradaban masyarakat utamanya kaum lelaki ataukah mereka hanya dianggap sebagai mesin penhibur yang dapat diatur dan diperintah sesuai kemauan sang mulia (laki-laki). Akan tetapi ketika Islam datang dengan membawa al Qur’an dan sabda Nabi-Nya maka wanita mendapatkan tempat yang layak, kedudukannya diangkat sebagaimana mestinya menjadi makhluk yan dimuliakan tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Mereka sama di mata Tuhan dan agama. Karena setiap orang –termasuk wanita- perlu menjaga kedudukan tersebut jangan sampai kedudukan yang tinggi tidak dapat diraih bukan karena tidak ada anugerah Tuhan tetapi karena mereka sendiri menolak pemberian Tuhan dengan menyalahi aturan-aturan keagamaan yan ada.
- Laki-laki dan wanita adalah dua makhluk yang memiliki perbedaan, dan perbedaan tersebut sulit untuk disamakan namun bukan berarti tidak bisa disatukan. Sehingga menyamakan peran dan kerja kedua makhluk tersebut adalah sesuatu yang sulit bahkan “mungkin” mustahil, tetapi menyatukannya dalam artian melaksanakan tanggung jawab dan fungsi sebagaimana kodrat masing-masing adalah sebuah kemestian. Sehingga Islam –termasuk al Sunnah- menilai persamaan gender adalah sebuah kesulitan namun kerja sama di antara kedua gender tersebut adalah sebuah keharusan untuk menciptakan keragaman penuh kebersamaan dalam masyarakat dan memang itulah yang menjadi tanggung jawab dua orang bersaudara, al Nisa’ Syaqaiq al Rijal.
- Rekomendasi
Menyikapi segala bentuk masalah dan keragaman pendapat tentang gender, termasuk keragaman bentuk pemikiran dan pendapat hendaknya dijadikan sebuah pegangan terhadap kerahmatan agama Islam.
Inilah hasil usaha dan kerja keras penulis dalam mencari, mempelajari dan menulis tentang apa dan bagaimana konsep hadis tentang persamaan gender tersebut. Semoga dengan tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca sehingga dapat menuai pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al sawab.
DAFTAR PUSTAKA
AL Qur’an al Karim
Ahmad Abdul Aziz al Hushain, al Mar’at wa Makanatuha fi al Islam. Kairo. Maktabah al Iman. 1981.
Yusuf al Qaradhawi, Khithabuna al Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika Islam; Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor Ridho. Jakarta. Pustaka al Kautsar. 2007.
Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud. Hims Suriah. Dar al Hadits. tt.
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad. Riyadh. Maktabah al Turats al Islami. 1994.
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi. Beirut. Dar al Fikr. 1995.
Muhammad Syamsul Haq al Azhim Abadi Abu al Thayyib, ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiyah. 1994.
Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim. Beirut. Dar al FIkr. 1993.
Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib. Beirut. Dar al Fikr. 1994.
Muhammad bin Ahmad Ismail al Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat al Jahiliyah. Kairo. Dar Ibni al Jauzi. 2005.
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari. Beirut. Dar al Kutub al Ilmiah. 1992.
Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim. Riyadh. Dar Alam al Kutub. 1996.
Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah al Qazwini, Sunan Ibni Majah. Semarang. Karya Toha Putra. tt.
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia. Bandung. Remaja Rosdakarya. 2000.
[1] Keadaan masyarakat yang seperti di atas digambarkan oleh al Qur’an –khususnya QS. Al Nahl ; 58-59- yang menyebutkan bahwa bila yang lahir adalah wanita maka wajah mereka akan berubah menjadi hitam dan sangat marah bahkan mereka akan menyembunyikan diri dari orang lain karena menganggap kelahiran tersebut adalah suatu berita yang sangat buruk bagi mereka.
[2] Ahmad Abdul Aziz al Hushain, al Mar’at wa Makanatuha fi al Islam (Kairo; Maktabah al Iman, 1981), cet. II, hal. 11.
[3] Yusuf al Qaradhawi, Khithabuna al Islam fi Ashr al Aulamah (terj. Retorika Islam; Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam oleh Abdullah Noor Ridho (Jakarta; Pustaka al Kautsar, 2007) cet. II, hal. 225.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan al Turmudzi. Lihat Abu Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud (Hims Suriah; Dar al Hadits, tt), jil I, hal. 111, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al Musnad (Riyadh; Maktabah al Turats al Islami, 1994), jil. VI, hal. 256, dan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Turmudzi (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. I, hal. 189. Al Turmudzi mengomentari bahwa hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang berkualitas baik kecuali Abdullah bin Umar al Umari yang dianggap sebagai perawi yang lemah, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis di atas dari segi sanad memang dhaif namun dari segi matan maka ia tetap sahih, apatah lagi kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, termasuk al Qur’an.
[5] Lihat Abu ‘Ula Muhammad Abdurrahman Ibn Abdurrahim al Mubarakfuri, Tuhfat al Ahawadzi bi Syarh Jami’ al Turmudzi (Beirut: Dar al Fikr, 1995), jil. I, hal. 312. Dan Muhammad Syamsul Haq al Azhim Abadi Abu al Thayyib, ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994), jil. I, hal. 275.
[6] Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad masing-masing dari Ibnu Abbas ra. Lihat Abu Daud, Op.Cit, jil. II, hal, 759, dan Ahmad, Op.Cit, jil. I, hal. 223.
[7] Para mufassir berbeda pendapat memahami makna kata “min nafsin wahidah”, sebagian di antaranya memahami sebagai nabi Adam as. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan tubuh manusia. Namun terlepas dari keragaman pehamaman tersebut, yang jelas wanita dan laki-laki adalah makhluk yang sama di hadapan Allah sehingga tidak seyogyanya mereka dibedakan dalam kedudukan sebagai hamba Allah yang memiliki taklif dan tanggung jawab masing-masing. Untuk lebih jelasnya lihat Syihabuddin al Sayyid Mahmud al Alusi, Ruhul Ma’ani fi Tafsir al Qur’an al Azhim (Beirut; Dar al FIkr, 1993), jil. III, hal. 397, Fakhruddin al Razi, al Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib (Beirut; Dar al Fikr, 1994), jil. V, hal. 35.
[8] Muhammad bin Ahmad Ismail al Muqaddim, al Mar’at Baina Takrim al Islam wa Ihanat al Jahiliyah (Kairo; Dar Ibni al Jauzi, 2005), cet. I, hal. 101.
[9] Diriwayatkan oleh al Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah. Lihat Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari; Bab al Suhulah wa al Samahah (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1992), jil. III, hal. 212. Abu Husain Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi, Shahih Muslim (Riyadh; Dar Alam al Kutub, 1996), jil. IV, hal. 178. Dan Abu Abdillah Muhammaad bin Yazid Ibnu Majah al Qazwini, Sunan Ibni Majah (Semarang; Karya Toha Putra, tt), jil. I, hal. 594.
[10] Abdul Rauf al Manawi, Faidhu al Qadir Syarh al Jami’ al Shaghir (Mesir; Maktabah al Tijariyah al Kubra, 1356 H), cet. I, jil. 1, hal. 506.
[11] Untuk lebih jelasnya mengenai hal pola piker dan metodologi tersebut lihat Barbara Freyer Stower, Reinterpretasi Gender (Wanita dalam Al Qur’an, Hadis dan Tafsir) (Bandung; Pustaka Hidayah, 2001), hal. 15.
[12] Lihat Nasaruddin Umar, Persfektif Jender Dalam Islam (jurnal Paramadina)
[13] Hal ini berbeda dengan maksud bagian pertama di atas tentang kedudukan wanita. Benar laki-laki dan wanita memiliki kedudukan yang sama bahkan kemungkinan wanita lebih mulia dari laki-laki, akan tetapi dalam aspek lain termasuk statusnya maka wanita dianggap tetap berbeda dengan laki-laki.
[14] Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah ; Seputar Ibadah, Muamalah, Jin dan Manusia (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2000), cet. I, hal. 254.
[15] Muhammad bin Ahmad, Op.Cit, hal. 125.
[16] QS. Ali Imran ; 36.
[17] Lebih jelasnya baca Fakhruddin al Razi, Op.Cit. jil. IV, hal. 185.
[18] Juhaya S. Praja, Op.Cit, hal. 249.
[19] Baca QS. Al Buruj ; 10, QS al Naahl ; 97, QS. Ghafir; 40, dan masih banyak ayat-ayat yang lain tidak nyamakan tanggung jawab dan hak mereka untuk melakukan serta mendapatkan konsekuensi keberagamaannya.
[20] Lihat Ibnu Majah, Op.Cit, jil. I, hal. 81. Al Suyuthi menganggap hadiis tersebut sebagai hadis sahih karena memiliki banyak riwayat.
0 komentar:
Posting Komentar
apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....