Selasa, 03 Mei 2011

URGENSI MURSYID DALAM TAREKAT

oleh : A. Ariani Hidayat, S.Th.I

PENDAHULUAN
Latar belakang

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian cahaya Alquran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-cita tasawuf dalam Islam itu.

Hidup kerohanian dalam islam dimulai dari peri kehidupan Nabi Besar Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya yang utama dan terdapat pula dalam kehidupan para Nabi-Nabi yang terdahlu.

Nabi Muhammad sebelum menghadapi pekerjaan besar yang akan menggemparkan dunia itu, lebih dahulu beliau telah melatih dirinya dalam hidup kerohanian. Demikian juga dalam kehidupan Abubakar, Umar, Usman, Ali dan beberapa sahabat-sahabat teras lainnya. [1]

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan. Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran. Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.[2]

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisaditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat pemaparan dari latar belakang kami mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah Pengertian Mursyid ?
Apa Saja Syarat-Syarat Seorang Mursyid ?
Apa Saja Urgensi Mursyid ?


PEMBAHASAN
Pengertian Mursyid

Kata mursyid berasal dari bahasa arab yaitu isim fail dari أرشد- يرشد yang berarti orang yang memberikan petunjuk jalan atau dalam bahasa inggris guide[3].

Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.


B Syarat – Syarat Seorang Mursyid

Menjadi guru tarekat (mursyid) tidak semudah seperti menjadi guru pada umumnya. Seorang mursyid harus memiliki kualifikasi khusus. Hadratusy Syekh Hasyim Asy`ari menetapkan syarat-syarat guru tarekat seperti ungkapan di bawah ini :

ومن شرائط الشيخ ان يكون عالما بالاوامر الشرعية عاملا بهاواقفا على اداب الطريقة سالكا فيهاكاملا فى عرفان الحقيقة وواصلا اليهاومحرصا عن جميع ذلك

Artinya : “Diantara syarat guru tarekat adalah alim atas perintah-perintah syara`, mengamalkannya, tegak di atas adab-adab tarekat serta berjalan di dalamnya, sempurna pengetahuannya tentang hakekat dan sampai pada hakekat itu serta ikhlas dalam semua hal tersebut”.

Hadratuy Syekh juga mengutip ungkapan Imam Al-Junaidi ra. Melalui ungkapannya

علمناهذا مقيد بالكتاب والسنة فمن لم يقرأ القران ولم يكتب الحديث ولم يجالس العلماء لايقتدى به فى هذا لشأن

Artinya : “Ilmu kita ini (tarekat) terikat oleh Al-Qur`an dan Assunnah. Siapa saja yang belum belajar Al-Qur`an dan As-Sunnah dan tidak pula pernah duduk di depan para Ulama (untuk menuntut ilmu) orang tersebut tidak boleh diikuti di dalam tingkah laku tarekat ini”.[4]

Abdul Qadir isa dalam kitabya Haqa iq at-Tashawwuf memberikan empat syarat yang harus dimiliki seorang mursyid agar dia dapat memberikan petunjuk dan bimbigan kepada manusia. Keempat syarat itu adalah :
1. Dia harus mengetahui semua hukum Fardhu ‘ain.

Seorang mursyid mengetahui semua hukum fardhu ‘ain, seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat bila sampai nisab, muamalah, jual beli apabila dia bergelut di dunia perdagangan, dan hokum-hukum Islam lainnya. Disamping itu, dia harus mengetahui akidah Ahli sunnah dalam masalah tauhid. Dia harus mengetahui apa-apa yang wajib bagi Allah, apa-apa yang jaiz bagi-Nya, dan apa-apa yang mustahil bagi-Nya, baik secara global maupun secara detail. Demikian juga halnya dengan Rasul dan rukun iman lainnya.
2. Dia harus bermakrifat atau mengenal Allah.

Seorang mursyid harus mengaktualisasikan akidah Ahli Sunnh dalam perbuatn dan perasaannya, setelah dia mengetahuinya sebgai ilmu. Dia harus mengakui di dalam hati dan jiwanya kebenaran akidah tersebut. Dia harus bersasksi bahwa Allah itu Esa di dalam Zat-Nya. Disamping itu, di juga harus mengetahui kehadiran nama-nama Allah, baik dengan cita rasa spiritualnya maupun dengan pandagan mata hatinya, lau mengembalikannya kepada kehadiran yang tunggal yang mencakup semuanya. Dia tidak meragukan banyaknya nama-nama Allah, sebab banyaknya nama tidak mengindikasikan banyaknya zat.
3. Dia harus mengetahui teknik-teknik pensucian jiwa dan sarana-sarana untuk mendidiknya.

seorang mursyid harus mensucikan jiwanya terlebih dahulu dibawah bimbigan seorang pendidik spiritual atau mursyid. Dengan demikian, dia mengetahui tingkatan-tingkatan jiwa, penyakit-penyakitnya dan godaan-godaannya. Dia mengetahui penghalang bagi setiap fase perjalanan dan cara menaganinya sesuai dengan kondisi setiap orang.
4. Dia harus mendapat izin untuk membimbing manusia dari mursyid atau Syaikhnya.

Seorang mursyid hendaknya sudah memperoleh ijazah dari Syaikhnya untuk melakukan pendidikan spiritual. Apabila dia belum memperoleh pengakuan atas keahliannya untuk memberikan bimbingan dan kesucian sifat-sifat jianya. Atas dasar itulah, sekarang sekolah dan perguruan tinggi didirikan. Seseorang yang belum mengantongi ijazah kedokteran tidak boleh membuka praktek pengobatan bagi orang sakit. Begitu juga, seseorang tidak boleh melakukan bimbingan spiritual tanpa mendapat izin dari para mursyid yang silsilahnya bersambung sampai kepada Rasululah.

Orang yang berakal tidak mungkin berobat kepada dokter yang bodoh. Begitu juga, seseorang tidak boleh bersandar kepada seorang musrsyid yang tidak memperoleh izin khusus untuk memberikan pengarahan dan bimbigan spiritual. Orang yang mempelajari kondisi ilmu pada zaman dulu akan mengetahui arti penting ijazah dari para Syaikh dan arti penting belajar kepada mereka. Bahkan mereka menyebut orang yang tidak mengambil ilmunya dari para ulama dengan shahafi, sebab ilmunya hanya diperoleh dari suhuf (lembaran-lembaran buku) dan belajar sendiri.

Rasulullah s.a.w. pernah berwasiat kepada Ibnu Umar tentang hal itu dalam sabdanya, “ Hai Ibnu Umar, agamamu, agamamu. Sesungguhnya dia adalah daging dan darahmu. Maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya. Ambillah agama dari orang-orang yang istiqamah, dan janganlah engkau mengambilnya dari orang-orang menyimpang.”(HR. Ibnu ‘Ady).[5]

Seorang ahli makrifat berkata, “Ilmu adalah roh yang ditiupkan, bukan masalah-masalah yang dicatat. Oleh sebab itu, para pelajar hendaklah berhati-hati dari siapa mereka mengambilnya, dan para ulama hendaklah berhati-hati kepada siapa mereka mengerjakannya.”

Ketahuilah bahwa tanda-tanda mursyid kamil dapat diperhatikan dari hal-hal berikut:
a. Jika engkau duduk bersamanya, maka engkau akan merasa adanya hembusan iman dan aroma jiwa. Dia tidak berbicara selain tentang Allah, tidak mengucapkan selain kebaikan dan tidak bercakap selain tentang nasehat. Engkau dapat mengambil manfaat dari pergaulan dengannya, sebagaimana dari pembicaraannya. Engkau dapat mengambil manfaat saat berada didekatnya, sebagaimana saat jauh darinya. Dan engkau dapat mengambil manfaat dengan memandangnya, sebagai mana dengan mendegar ucapannya.
b. Engkau mendapatkan potret keimanan, keikhlasan, ketakwaan dan kerendahan hati pada diri para sahabat dan muridnya. Ketika engkau bergaul dngan mereka, engkau teringat dengan sifat-sifat mulia, seperti cinta kasih, kejujuran, altruisme dan persaudaran yang tulus. Demikianlah, seorang dokter yang pandai dikenal dari pengaruh dan hasil kerjanya. Sehingga engkau dapat melihat para pasien yang sembuh di bawah penaganannya keluar dengan kekuatan dan kesehatan yang prima.

Banyak atau sedikitnya jumlah murid yang belajar kepada seorang mursyid bukan ukuran. Tapi yang menjadi ukuran adalah kesalahan dan ketakwaan para murid, terbebasnya mereka dari noda-noda dan penyakit-penyakit jiwa dan istiqamah mereka dalam menjalankan syariat Allah.

c. Engkau melihat para muridnya berasal dari status social yang berbeda-beda. Begitualh halnya para sahabat Rasul s.a.w.

Keuntugan mendapat seorang mursyid kamil akan mendorong murid untuk mengambil ilmu darinya, terus bergaul dengannya, berakhlak seperti akhlaknya, serta mengamalkan nasehat dan bimbigannya, demi mencapai kebahagian dunia dan akhirat.[6]

terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan.

Dalam al-Qur’an disebutkan:“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,

2) Menjaga kehormatan,

3) Bakti yang baik,

4) Melaksanakan prinsip utama; dan

5) Mengagungkan nikmat Allah Swt

Dari sejumlah ilustrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt dan Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya.[7]

C. Urgensi Mursyid Dalam Tareqat

// skip to main | skip to sidebar Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid. Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka.Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.Bukti-bukti historis akan kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri. Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul.Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal:“Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid.Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.[8]

PENUTUP

A.Kesimpulan

Akar kata mursyid berasal dari bahasa arab yaitu isim fail dari أرشد- يرشد yang berarti orang yang memberikan petunjuk jalan atau dalam bahasa inggris guide. Maka dapat dipahami bahwa mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. yang mana pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera oleh karena itu seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita dan mengarahka pada bentuk pelaksanaan yang benar.

Secara garis besar ada empat syarat yang harus dimiliki seorang mursyid agar dia dapat memberikan petunjuk dan bimbigan kepada manusia. Keempat syarat itu adalah :
Dia harus mengetahui semua hukum Fardhu ‘ain.

2. Dia harus bermakrifat atau mengenal Allah.

3. Dia harus mengetahui teknik-teknik pensucian jiwa dan sarana-sarana untuk mendidiknya.

4. Dia harus mendapat izin untuk membimbing manusia dari mursyid atau Syaikhnya.

// skip to main | skip to sidebar Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Itu dapat dilihat dari ayat diatas.




DAFTAR PUSTAKA

Atabik ali & Zuhdi muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Cet VII: Multi Karya Grafika).
Zahri Mustafa , Kunci memahami ilmu tasawwuf, (PT Bina Ilmu Surabaya).
Masada, Dikutip dari internet dalam jurnal online berjudul Menembus Langit, Tanggal 16 september 2006 hari sabtu.
Qadir isa Abdul, Hakekat Tasawwuf, (Cet I: Qithi Press 2005).
Di kutip dari artikel saziliyah tareqat, sabtu, tanggal 6 2006.

Dikutip dari artikel online Jalukumincir, 7 Agustus 2007.
[1] Mustafa Zahri, Kunci memahami ilmu tasawwuf, (PT Bina Ilmu Surabaya) hlm 29


[2] Masada, Dikutip dari internet dalam jurnal online berjudul Menembus Langit, Tanggal 16 september 2006 hari sabtu.

[3] Atabik ali & Zuhdi muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, ( Cet VII: Multi Karya Grafika )

[4] Dikutip dari artikel online Jalukumincir, 7 Agustus 2007.

[5] Abdul Qadir isa, Hakekat Tasawwuf, (Cet I: Qithi Press 2005), halm 48-50.

[6] Ibid hlm 51-52.

[7] Di kutip dari artikel saziliyah tareqat, sabtu, tanggal 6 2006.

[8] Ibid Saziliyah Tareqat.

0 komentar:

Posting Komentar

apakah anda tidak menemukan yang anda cari??? silahkan tuliskan sesuatu yang anda cari itu....

FACEBOOK COMENT

ARTIKEL SEBELUMNYA

 
Blogger Templates